Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BEBERAPA waktu terakhir saya cukup sedih mendengar cerita sejumlah siswa-siswi di salah satu sekolah. Cerita mereka soal perilaku guru-guru mereka. Ada guru yang sering kali judgemental. Berteriak dengan keras membentak murid-muridnya.
Ada pula guru yang melempar spidol/penghapus kepada siswanya karena pelanggaran sepele seperti kurang fokus. Ada guru yang suka mengancam siswa/siswi dengan membawa penggaris kayu yang panjang, sebagai wujud ancaman kepada para murid.
Bahkan, ada guru yang menuntut siswanya untuk menghapal suatu pelajaran tertentu dalam rentang satu hari, padahal untuk menguasai pelajaran itu dibutuhkan waktu satu hingga dua minggu.
Akibat tugas yang mustahil itu, akhirnya banyak siswa/siswi yang remedial serta tak jarang kata-kata kasar keluar dari mulut guru yang bersangkutan. Menghina murid-muridnya sendiri. Sangat mengerikan.
Belakangan, saya cukup heran. Mengapa karakter feodal seperti ini masih dijumpai di dunia pendidikan? Khususnya kala mengajar dan mengembangkan aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik siswa/siswi.
BACA JUGA: Betapa Jauh Kemajuan Pendidikan di Indonesia!
Malahan, di banyak teori-teori psikologi, keadaan stress merupakan atmosfer yang sangat tidak kondusif di dalam proses belajar siswa dan siswi. Dan anehnya, mulai banyak pendekatan-pendekatan militeristik yang ditiru banyak sekolah, padahal metode yang demikian sangatlah tidak efektif.
Hanya siswa dengan kapasitas inteligensia dan kecerdasan emosi tertentu saja yang bisa ditempa dengan pendekatan militeristik. Itu sebabnya terlebih dahulu perlu dilakukan seleksi akademik, mental dan fisik.
Selain itu, ada pula guru yang hanya menilai keberhasilan siswa/siswi dari hasil nilai yang didapatnya saat ulangan. Penilaian ini sangatlah dangkal. Sebab, setiap anak memiliki tingkat IQ yang berbeda-beda, serta memiliki bakat yang berbeda-beda pula.
Itu sebabnya, ada baiknya guru juga mampu mengapresiasi serta mendorong siswa dan siswi di dalam mengembangkan keunikan bakatnya. Serta berupaya memberikan motivasi jika standard nilai minimal (KKM/Kriteria Ketuntasan Minimal) belum tercapai.
Jika siswa/i yang bersangkutan belum mencapai KKM, saya rasa masih ada waktu untuk memperbaiki persoalan itu selama siswa dan siswi yang bersangkutan masih memiliki motivasi dan semangat untuk belajar.
BACA JUGA: Disrupsi Dunia Pendidikan dan 3 Perubahan Paradigma
Mari jangan buru-buru menghakimi siswa/i yang belum mencapai KKM, karena akan selalu ada waktu memperbaiki pelajaran tersebut. Lantas, hal yang terutama adalah menanamkan motivasi peserta didik untuk tidak menyerah di dalam memperbaiki kekelirunnya.
Itu pulalah yang sebenarnya diajarkan kehidupan bagi kita manusia. Jika gagal, akan selalu ada kesempatan untuk memperbaiki. Jadi, jangan mudah menyerah!
Beberapa waktu yang lalu, saya melakukan riset terkait model Pendidikan Finlandia. Tulisan itu telah saya rangkum kedalam bentuk jurnal penelitian (https://doi.org/10.55199/jd.v3i2.72).
Di dalam temuan saya, bahwa pendidikan Finlandia jauh dari kata feodalisme. Guru bukan sebagai sosok diktator yang berkuasa untuk menghakimi siswa dan siswinya, melainkan menempatkan dirinya secara egalitarian dengan siswa/siswi.
Lalu, berusaha menghadirkan dialog yang komprehensif dengan peserta didik. Malahan, beban materi yang diberikan tidak terlalu berat, namun disesuaikan dengan kemampuan siswa/siswi. Peserta didik juga diberikan keleluasaan untuk menggali pengetahuan secara mandiri, serta mendiskusikannya di dalam kelas.
BACA JUGA: Guru yang Semakin Lelah dan Murid yang Semakin Bertingkah
Sederhananya begini, saya rasa guru perlu berdialog dengan siswa/siswi jika ada materi yang sedang diajarkan dengan bertanya, apakah siswa dan siswi sudah memahami materi pelajaran atau belum?
Kalaupun guru menuntut agar siswa/siswinya menghapal isi materi, paling tidak guru dapat bertanya berapa lama waktu yang diperlukan siswa/siswi untuk menghapal materi tersebut? Tentu hal ini dilakukan jika memang guru menganggap bahwa siswa/siswi perlu menghapal.
Sebagai contoh begini. Dari cerita yang saya dengar, ada guru yang mengharuskan siswa/siswinya segera menghapal 118 unsur di table periodik hanya dalam rentang beberapa hari saja. Metode ini sangatlah berbahaya dan kurang tepat. Seharusnya, murid diberikan kesempatan untuk memikirkan berapa lama waktu yang diperlukannya untuk menguasai materi.
Hal demikian masih lebih bijaksana dibandingkan langsung menghukum dan membentak siswa/siswi karena kurang memahami isi materi. Lagipula, menghapal tanpa mengetahui latar belakang unsur yang dihapal sangatlah berbahaya karena akan menghambat proses imazinasi bagi para pelajar.
Karena itulah, keutamaan untuk memahami sering kali lebih perlu daripada sekadar menghapal materi.
Tentu, orang tua berharap besar terhadap guru selaku aktor sentral di dalam membimbing siswa dan siswi di sekolah. Ya, memang ada guru yang demokratis. Mengutamakan dialog di dalam proses belajar mengajar.
Guru-guru yang demikian patut untuk diapresiasi. Namun ada pula guru yang mungkin berdalih karena banyaknya tuntutan yang harus mereka penuhi di dalam proses mengajar sehingga menguras emosi dan membangkitkan amarah saat mengajar.
Menanggapi bagian terakhir pembahasan sebelumnya, saya hanya berharap bahwa guru adalah lulusan-lulusan terbaik di bidangnya. Sehingga, mereka tidak hanya mampu untuk mengajar atau memberikan informasi lalu menuntut siswa/siswi dengan semena-mena.
BACA JUGA: Posisi Kontrol Guru
Melainkan, guru yang cerdas harusnya memahami bagaimana murid berespon terkait hal yang baru saja diajarkan. Memahami kendala yang mungkin sedang dihadapi saat belajar topik tertentu. Karena itulah, diskusi terbuka sangat diperlukan di ruang kelas.
Kenakalan Siswa bukanlah alasan untuk memukuli, memaki dan menghina siswa/siswi. Menurut Saya, cukup ketegasan regulasi sekolah yang menjawab persoalan kenakalan siswa/siswi.
Namun berbeda halnya dengan guru. Guru harusnya dapat memberikan contoh teladan dengan bertutur sopan, memperhatikan kebutuhan siswa/siswinya, serta tahu cara mengajar dengan bertahap, berproses serta perlahan.
Saran saya, guru sebaiknya tidak terlalu berorientasi nilai sekalipun di dalam proses administrasi pendidikan nilai sangat diperlukan. Guru seharusnya lebih memahami bagaimana kemampuan siswa di dalam menyerap subjek pelajaran, serta lihai dalam menumbuh kembangkan rasa ingin tahu untuk belajar.
Begitu pulalah halnya metode pendidikan bagi siswa/siswi di Finlandia. Nilai bukan hal yang terutama, melainkan motivasi untuk belajar dan ingin tahu menjadi keutamaan yang harus ada di dalam diri peserta didik.
Lantas, apakah guru tidak boleh menghukum? Menurut saya boleh. Namun perlu dipahami bahwa, tujuan memberikan hukuman dari guru kepada siswa/siswinya bukan untuk menyiksa para murid dengan melempar spidol, memukul dengan penggaris atau bahkan memaki siswa/siswi.
Itu merupakan hukuman yang menyakiti, sehingga sangat tidak tepat untuk dilakukan. Malahan justru banyak peserta didik yang patah arang untuk belajar akibat perlakuan kasar dari guru mereka.
Langkah yang sebaiknya dilakukan jika guru menghukum, adalah dengan maksud untuk membangun. Maksudnya, Guru menghukum sekaligus untuk membangun dan mengembangkan rasa penasaran anak untuk belajar.
Misalnya, dengan menyuruhnya membaca satu buku tertentu. Menyuruhnya membuat makalah mengenai pelanggaran yang telah dilakukannya. Menyuruhnya presentasi di kelas dan ragam hukuman positif lainnya.
Inilah model hukuman yang sering diluputkan oleh banyak guru. Menghukum untuk membangun kemampuan siswa/siswi.
BACA JUGA; Guru dan Pendidikan Karakter
Lalu, jika ada kasus-kasus tertentu, selain guru BP, wali kelas juga perlu berdialog dengan siswa yang bersangkutan. Menanyakan kesulitannya, memberikan solusi dan jika perlu ikut mendoakan para murid yang sedang kita ajari.
Saya curiga, jangan-jangan banyaknya kekerasan yang dilakukan para guru kepada para murid bisa terjadi karena minimnya pemeriksaan psikologis para guru.
Merespon hal itu, ada baiknya dibuka ruang diskusi antara siswa, orang tua dan wali kelas. Sehingga, dapat diketahui persoalan yang terjadi yang dialami peserta didik.
Lalu, guru-guru yang tidak kompeten atau mungkin memerlukan penanganan serius dari pihak sekolah akhirnya dapat diketahui di dalam ruang diskusi antara orangtua, siswa dan guru kelas.
Dialog sekolah dengan orang tua sebenarnya juga sangat diperlukan di dalam proses belajar anak. Selain agar anak diperhatikan di tempat tinggalnya oleh orang tua atau wali mereka, pihak sekolah juga dapat dipantau untuk sungguh-sungguh mengajari secara professional dan dengan berani mengevaluasi guru-guru yang tidak profesional. Hal yang tidak boleh luput adalah mendengarkan keluhan para muridnya.
Selain itu, perlunya relasi yang dekat antar pihak terkait. Murid, guru dan orangtua teramat perlu mendapatkan pembekalan melalui seminar parenting untuk guru dan orangtua. Seminar metode belajar kepada peserta didik dan lain sebagainya.
Sehingga, ditemukan metode-metode mutakhir di dalam menangani persoalan teknis di dalam proses belajar dan mengajar.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya hanya akan berpesan kepada para guru; Guru jangan pukuli muridmu. Tetapi cintailah mereka, seperti anakmu sendiri. Ingatkan mereka jika mereka melakukan kesalahan dengan perkataan yang menyadarkan sekaligus membangun.
Mereka hanyalah remaja biasa yang belum mengerti banyak. Mereka punya banyak kebingungan di dalam pikiran mereka. Mereka sebagian besar datang dari perantauan ke sekolah, dengan iringan doa dari orangtua mereka.
Para murid itu juga punya mimpi-mimpi besar wahai para Guru. Karena itu, Cintailah murid-murid yang Tuhan percayakan kepada kita. Sayangi dan dukunglah mereka dengan sopan dan kasih yang tulus.
Guru, Jangan kasar kepada muridmu!
====
Penulis adalah pemikir filosofis, theologis dan peneliti kajian ilmu politik.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]