Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Dairi. Masyarakat yang berada di lingkaran tambang PT Dairi Prima Mineral (DPM) Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menyerukan majelis hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menegakan keadilan demi keselamatan warga dan lingkungan.
Seruan itu disampaikan Barisman Hasugian, salah seorang penggugat mewakili masyarakat lingkar tambang saat konferensi pers, Senin (5/8/2024), di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta.
"Desakan ini demi kepentingan masyarakat yang terancam keselamatannya akibat operasi PT DPM," kata Barisman dalam keterangan tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Selasa (6/8/2024)
Disebutkan Barisman, sebelumnya, pada 14 Februari 2024, masyarakat Dairi mengajukan gugatan kasasi ke Mahkamah Agung setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta menyatakan persetujuan lingkungan PT DPM sah pada persidangan 22 November 2023.
Persetujuan tersebut diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK No. 854/MENLHK/SETJEN/PLA.4/8/2022 tentang Kelayakan
Lingkungan Hidup PT DPM.
"Padahal, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah memutuskan persetujuan lingkungan PT DPM tidak sah dan memerintahkan KLHK mencabut
izin tersebut pada 24 Juli 2023," ucap Barisman.
Untuk itu, Barisman pun berharap majelis hakim Mahkamah Agung bersedia mendengarkan permohonan masyarakat Dairi korban tambang PT DPM yang dirampas ruang hidupnya dan kini terancam keselamatannya.
"Saya mewakili para penggugat berharap majelis hakim Mahkamah Agung yang mengadili dan menyidangkan perkara ini untuk membatalkan putusan PTTUN Jakarta, dan menguatkan putusan PTUN Jakarta yang menyatakan persetujuan lingkungan PT DPM tidak sah," ujarnya.
Menurutnya masyarakat Dairi hanya ingin mempertahankan ruang pertanian sebagai sumber kehidupan dan menginginkan kehidupan yang sejahtera, jauh dari bayang-bayang ancaman tambang terhadap keselamatan para warga.
"Kami tidak butuh tambang. Sekali tambang datang ruang pertanian kami hilang, hidup kami pun lenyap," ungkapnya.
Hak senada juga disampaikan Layasna Berutu, perwakilan masyarakat Dairi yang lain.
Diungkapkannya, tantangan masyarakat Dairi tak hanya mengenai penerbitan kelayakan lingkungan hidup PT DPM. Karena KLHK kini melakukan klaim sepihak atas
kawasan hutan.
"KLHK memasang patok dan plang bertuliskan “ tanah ini milik koperasi kenegerian Lae Njuhar," di area ladang dan pemukiman masyarakat Dairi, tepatnya di desa Sinar Pagi Kecamatan Tanah Pinem tanpa melakukan dialog dengan warga yang memiliki lahan-lahan tersebut," ujarnya.
"Tindakan KLHK yang bagai pencuri tersebut, membuat masyarakat curiga mengenai motif di balik tindakan itu," sebutnya.
"Kami mencurigai KLHK memiliki motif untuk memuluskan kepentingan PT DPM yang ingin memperluas wilayah konsesi tambang," tambahnya.
Menurut Layasna, tindakan KLHK itu menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah dan negara terhadap rakyatnya.
"Kenapa lagi-lagi kami masyarakat yang dikorbankan?, kami hanya butuh hidup dan bertani dengan tenang tanpa campur tangan perusahaan dan KLHK, kehadiran mereka justru meresahkan kami," ungkapnya.
Sementara itu, Uli Arta Siagian dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan, pengukuhan kawasan hutan negara di Dairi merupakan dampak yang tidak terbantahkan dari implementasi Undang-undang Cipta Kerja.
Undang-undang ini memandatkan pengukuhan hutan diselesaikan hingga 100% dalam tempo singkat. Percepatan pengukuhan kawasan hutan tanpa diikuti dengan koreksi terhadap proses pengukuhan kawasan hutan sebelumnya hanya akan melanggengkan azas domein verklaring atau azas yang berlaku pada zaman kolonial Belanda dulu.
"Konsekuensi paling logis dari proses ini adalah semakin panjangnya rantai konflik agraria," tuturnya.