Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Andreas Teguh Prakoso Sembiring sebagai saksi pelapor perkara pemalsuan surat mengakui turut serta terlibat dalam merevisi surat proposal perdamaian.
Hal itu terungkap di persidangan lanjutan perkara pemalsuan surat, di Ruang Sidang Cakra 6 Pengadilan Negeri (PN) Medan yang menjadikan Louis Jauhari Fransisko Sitinjak sebagai terdakwa, Rabu (7/8/2024).
Dalam prosesnya, Andreas selaku staf legal PT Johan Sentosa dihadirkan di persidangan oleh jaksa penuntut umum (JPU) menjadi saksi. Di persidangan, Andreas dicecar sejumlah pertanyaan.
Persidangan berlangsung cukup alot ketika sesi tanya jawab antara penasihat hukum (PH) terdakwa dengan Andreas. Sampailah pada pertanyaan terkait keterlibatan Andreas dalam pembuatan proposal perdamaian tersebut.
Mendengar pertanyaan itu, Andreas mengakui turut serta merevisi proposal perdamaian, meskipun mengaku tidak membuat proposal perdamaian itu.
"Saya hanya merevisi, tidak ada membuat proposal (atau surat yang diduga dipalsukan tersebut)," katanya.
Dalam kesempatan itu, salah satu tim PH terdakwa pun menanyakan kerugian yang timbul akibat surat proposal perdamaian yang diduga tanda tangannya dipalsukan tersebut. Namun, saksi tak dapat menjelaskannya secara rinci.
Terpisah, di luar persidangan salah satu Tim PH terdakwa, Andreas Nahot Silitonga, menjelaskan kronologi perkara yang menjerat kliennya tersebut.
Dikatakannya, perkara ini terkait pemalsuan tanda tangan di suatu proposal yang dipakai proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari PT Johan Sentosa.
"Jadikan kasus ini sebenarnya dugaan pemalsuan tanda tangan di suatu proposal yang dipakai proses PKPU dari Johan Sentosa. Di mana terdakwa ini adalah legal dari perusahaan tersebut," katanya.
Dijelaskannya, pelapor mengadukan hal ini atas nama perusahaan PT Johan Sentosa. Ia pun merasa terdakwanya dirugikan atas seluruh keterangan saksi Andreas.
"Tapi, fakta yang paling penting saya dapat tadi adalah bahwasanya pelapor ini bertindak atas nama perusahaan. Artinya, perusahaan ini dirugikan dari keterangan tadi kita jadi bisa tahu sebenarnya perusahaan ini rugi apa tidak. Namun, ternyata banyak hal tadi yang terungkap masalah kerugiannya juga belum jelas," katanya.
Sebab, lanjut dia, ternyata proposal yang dikatakan palsu itu bukan atas nama. Jadi kalau yang namanya atas nama, mau diforensik bagaimana pun tidak bakal identik.
"Karena tujuan dibuatnya nama itu supaya orang itu tahu yang bertanda tangan di bawah proposal itu bukanlah namanya tercantum. Makanya ada namanya atas nama dan proposal itu tidak menjadikan dia pailit. Karena sudah digambarkan di persidangan proposal ini pun tidak jadi dipakai, pada proposal selanjutnya sudah ditandatangani dengan benar oleh direksi," lanjutnya.
Kata PH lagi, tidak ada kerugian dalam perkara ini. Dia pun bingung entah dari mana kerugian yang timbul sebesar Rp 350 juta sebagaimana dalam dakwaan JPU.
"Sehingga, yang ada di proposal itu mau dibayar denda dengan jumlah Rp 350 juta ternyata pada saat itu perusahaan membayar Rp 500 juta. Perusahaan dengan sukarela membayar Rp 500 juta dalam proposal Rp 300 juta. Jadi ruginya di mana? Justru yang disampaikan dalam proposal yang dikatakan palsu itu lebih kecil dari jumlah yang disepakati oleh perusahaan ini itu loh," cetus Andreas.
Andreas pun menyayangkan hal tersebut, sampai membuat kliennya ditahan dan duduk di kursi pesakitan.
"Itulah yang sangat kami sayangkan dari proses penegakan hukum orang sudah ditahan. Banyak fakta-fakta itu nanti akan kami ungkap dalam persidangan ini supaya menjadi jelas, jangan dong penegak hukum menahan orang yang tidak salah," sebutnya.
Kemudian, ia berharap majelis hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara ini objektif dan bijaksana. Selanjutnya sidang akan kembali digelar pada Rabu (14/8/2024).