Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ono kidung rumeksa ing wengi/Teguh hayu luputa ing Lara/Luputa bilahi kabeh/Jim setan datan purun/Paneluhan tan ana wani/Miwah panggawe olo/Gunaning wong luput/Geni atemahan tirto/Maling adoh tan ono ngarah ing mami/Guno duduk pan sirno...
(Ada nyanyian yang menjaga di malam hari/Kukuh selamat terbebas dari penyakitTerbebas dari semua malapetaka/Jin setan jahat pun tidak berkenan/Guna-guna pun tidak ada yang berani/Juga perbuatan jahat/Ilmu orang yang bersalah/Api dan juga air/Pencuri pun jauh/tak ada yang menuju padaku/Guna-guna sakti pun lenyap...)
Diterangi cahaya rembulan Nasib Ts sastrawan dan wartawan asal Delitua membacakan syair Ronggowarsito yang berjudu Kidung Rumekso Ing Wengi di acara Muhasabah Rakyat pada 31 Desember 2017 malam di halaman MIS Hidayatullah Batang Kuis.
Dengan melantunkan syair ala kidung, Nasib diiringi siswa-siswi MIS Hidayatullah Batang Kuis. Mereka: Fauzan, Amin, Ajeng, Zahra dan Reza. Orang-orang pun terpukau dengan gayanya.
Ya, tanpa api unggun, tanpa tiupan lilin, tanpa musik ingar-bingar, para seniman, warga masyarakat dan aparatur pemerintahan duduk bersila di atas tikar plastik, hening dan khidmat mendengarkan pembacaan puisi yang silih berganti dibawakan oleh para penyair, mahasiswa, pelajar dan warga.
Yang hadir pun khusyuk menyimak pembacaan ayat suci Al-Quran oleh qori dan hafidz cilik kebanggaan warga Batang Kuis, siswa kelas III SD, Farhan hafiz 10 juz.
Kemudian nasihat dari dai cilik, siswi kelas I MIS Hidayatullah, Faza. Tak ketinggalan, Ajeng Andini – juga siswi MIS Hidayatullah – menggemakan suaranya.
Ajeng membacakan puisi “Tentara Gajah” karya Malubi. Salah seorang ulama Batang Kuis ini berhasil mendidik Ajeng muridnya di MIS Hidayatullah sebagai pembaca puisi yang baik dan Fasa menjadi Dai Cilik meski usia mereka masih sangat belia. Ada pula Farhan, Qori cilik dan Hafidz Quran dari Batang Kuis yang mengumandangkan ayat-ayat suci Al Quran di malam nan khidmat itu.
Testimoni
Muhasabah Rakyat juga menampilkan testimoni yang disampaikan sastrawan Mihar Harahap. Sastrawan dan kritikus sastra tersebut memberikan kesaksian, menyatakan suka dan dukanya memilih jalan hidup sebagai seniman. Sebuah bentuk penghisaban diri yang membuat banyak orang tertunduk...hening.
Tausiyah serta dzikir dan doa disampaikan Ustadz/Sastrawan H Mahyudin Lubis (Malubi). Dia didampingi salah seorang guru MIS Hidayatullah.
Hal yang membahagiakan, di luar dugaan hadir pula HM Ali Yusuf Siregar, calon Wakil Bupati Deliserdang yang akan mendamping Ashari Tambunan sebagai calon Bupati Deliserdang priode 2019- 2023. Tak sekadar hadir, Yusuf ikut pula membaca puisi dan memberi apresiasi atas acara Muhasabah Rakyat ini.
Jika sebelum-sebelumnya pejabat atau calon pejabat diminta menyanyi di acara-acara tertentu, tapi tidak di Deliserdang. Di Acara Muhasabah Rakyat, calon Wakil Bupati Deliserdang, HM Ali Yusuf Siregar justru diharuskan baca puisi. Di luar dugaan, Yusuf ternyata seorang pembaca puisi yang baik.
Padahal, katanya, dia belum pernah sekalipun baca puisi di depan publik. Baik semasa menjadi camat maupun setelah menjadi salah satu Kepala SKPD di Kab Deliserdang sekarang ini.
Apresiasi juga disampaikan Camat Batang Kuis, Irawadi Harahap dan Kepala Desa Sena, Bantu Suprayitno. Mereka berharap mimpi menjadikan Desa Sena sebagai Desa Seni tak sekadar mimpi. Mereka – para pemuka masyarakat yang ada di Desa Sena – sepakat bahu-membahu bersama seniman mewjudkan mimpi tersebut.
Tausyiah Malubi mengatakan tidak akan berubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu tak ingin mengubahnya. “Mari kita ambl manfaat hadirnya Bandara Kuala Namu di Deli Serdang ini dengan cara menghempang turis mancanegara maupun domestik di Desa Sena ini,” tegasnya.
Caranya, ya dengan mengadakan berbagai pertunjukan di Desa Sena seperti tari-tarian, musik, drama, pembacaan puisi dan lain sebagainya. “Mimpi itu akan jadi kenyataan jika kita bersama-sama memperjuangkannya. Masyarakat Desa Sena pun akan memperoleh manfaat dari pembangunan, tidak sekadar penonton,” lanjut Malubi.
Budaya dan Ekonomi
Seiring dengan itu, Nasib TS mengutip pepatah China mengatakan Wenhua gou jian de jiduan, jingji fazhan zhong de geju yang artinya “kebudayaan membangun panggung dan ekonomi memainkan operanya”.
“Hasil budi daya pertanian dalam sejarahnya diketahui memiliki nilai ekonomi dan akhirnya masuklah dalam kelompok komoditi. Begitu pula hasil seni lukis (rupa) yang berkembang ke berbagai varian dan menjadi komoditas. Seperti seni membatik, cerita bergambar (cergam), mural dan lainnya merupakan seni yang tak lepas dari komoditas,” jelas Nasib.
Ditambahkan, tak sedikit genre karya seni adiluhung awalnya, berkembang menjadi seni yang tak lepas dari komoditas. Seni sastra juga mengalami hal yang sama. Pada awalnya karya sastra merupakan seni adiluhung yang membawa kepada pencerahan (katarsis).
Konsep Horace dulce dan utile merupakan landasan sikap bagi sastrawan. Para pembaca tidak saja dapat menarik manfaat (utile) dari karya sastra yang dibacanya, juga dapat merasakan nikmat (dulce) yang tidak sekadar profan. Nikmat di dalam membaca karya sastra dapat mencapai puncak imanen (melampaui unsur kedagingan) karena ia telah melalui proses katarsis.
“Karya sastra pun mengalami perkembangan menjadi seni pop (komoditas). Salahkah? Tergantung dari kacamata masing-masing menjawabnya. Betapa adiluhungnya karya-karya Sunan Kalijaga, tetapi dinimkati tukang tape dan masyarakat bawah lainnya,” tegas Nasib.
Ditekankan, dejatinya potensi seni ada di dalam setiap diri manusia. Kesenian tak berjarak dengan setiap individu mana pun. Justru keterbatasan persepsi yang membuat kesenian seolah asing dan bila ini yang terjadi berarti manusia sedang mengalami keterasingan dengan dirinya sendiri.
“Menjadi terasing juga sebuah tantangan bagi manusia dan kemanusiaan. Tantangan ini bukan untuk dielakkan tetapi dijawab dengan tumbuh kembangnya peradaban. Pertanyaan selanjutnya, pada posisi apa dan sudah sampai di manakah aktivitas berkesenian maupun ilmu-ilmu seni kita tempatkan?” Nasib dalam nada tanya.
Kata Kapolsek Batang Kuis, daripada unjukrasa di jalanan, saatnya mahasiswa menyatakan protes dan menumpahkan kritik-kritik sosialnya dengan baca puisi. Di Malam Muhasabah Rakyat itu pun, sejumlah mahasiswa di Medan pun mengekspressikan dirinya melalui puisi.
Maka Deny Sukma, Agung, Iskandar dan lain-lain, malam itu berteriak lantang di Panggung Seni Desa Sena.
Ikut pula mendedahkan puisinya Khairul Anam, Rinto Sustono (Wartawan Analisa).
Di pengujung Acara Muhasabah Rakyat tampil Sugeng Satya Dharma membacakan puisinya dengan semangat penuh. Kemudian ditutup dengan pembacaan puisi oleh Hidayat Banjar dan ucapan hamdallah. Pukul 23.30 Wib acara diakhiri, dan para hadirin bubar dengan semangat yang baru dan saling bersalaman.
(Oleh: Hidayat Banjar)