Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis – Medan. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok memberikan sinyal yang kurang baik. Pasalnya, Donald Trump memperburuk keadaan dengan sikap akan menaikkan tarif barang-barang impor yang sebelumnya 10% menjadi 25%.
Kembali memanasnya perang dagang ini tentunya bakal memicu ketidakseimbangan ekonomi global. Bukan hanya itu, perang dagang juga memberikan kekhawatiran bagi pelaku pasar sehingga membuat mayoritas indeks saham global mengalami pelemahan.
"Trump masih menebar ancaman dengan rencana kenaikan tarifnya. Dan sudah pasti akan direspons balik oleh lawannya dengan kenaikan tarif yang sama. Perang ini belum menunjukkan adanya kemungkinan mereda, sekalipun dua belah pihak sudah menggelar sejumlah pertemuan," kata pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin, Jumat (3/8).
Jika tidak mereda dan terjadi ketidakseimbangan ekonomi global, kata Gunawan, maka perekonomian dunia harus menemukan kembali titik keseimbangan yang baru. Paling naasnya, perang dagang ini akan membuat sejumlah negara lain berpeluang untuk melakukan hal yang sama, yakni dengan cara melakukan proteksi terhadap negaranya masing-masing. Selanjutnya adalah adanya kemungkinan terbentuknya blok-blok negara baru yang memungkinkan terbentuknya poros-poros eksklusif.
Bagi Indonesia, perang dagang ini sangat berpeluang memicu terjadinya tekanan pada perekonomian nasional. Nantinya paling terlihat dari harga komoditas unggulan, baik dari sisi harga maupun permintaan.
Perang dagang ini juga sangat berpeluang memicu gangguan keseimbangan ekonomi nasional. Sejumlah aturan terpaksa harus disesuaikan guna mengimbangi ketidakstabilan ekonomi dunia. Salah satunya yang paling terlihat adalah kebijakan domestic market obligation (DMO) di sektor batu bara.
Belum lagi berbicara mengenai kemungkinan tekanan lanjutan pada neraca perdagangan. “Pelemahan rupiah seakan lumrah terjadi dan sulit untuk diredam ditengah perang dagang yang terjadi belakangan ini. Rupiah melemah saat ini dan terus berkonsolidasi di kisaran Rp 14.500 per dolar AS. Pelemahan tersebut sangat berpeluang memicu terjadinya tekanan inflasi," katanya.(elvidaris simamora)