Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis –Shenzen. Larry Sloven tiba di China selatan tiga dekade yang lalu, saat baru saja kawasan tersebut sedang lepas landas sebagai pusat manufaktur berbiaya-rendah dunia. Sejak itu, ia telah mengekspor jutaan dolar barang-barang, mulai dari peralatan tenaga listrik hingga bola lampu LED, ke beberapa retailer terbesar Amerika. Era itu kini sebentar lagi akan segera berakhir.
Selama bertahun-tahun, Sloven telah menyaksikan laba yang merosot dikarenakan naiknya ongkos, regulasi yang lebih ketat dan kebijakan pemerintah China yang bertujuan untuk membangun sebuah ekonomi yang lebih berkesinambungan dan berorientasi-jasa yang telah menekan produsen kelas bawah.
Tetapi pukulan terakhir kemungkinan adalah prospek tarif yang bertitik tolak dari perang dagang antara AS dan China, dan sebuah dunia yang lebih proteksionisme.
"Itu sudah dilakukan, selangkah demi selangkah. Dan keadaannya semakin saja mahal untuk menghasilkan produk-produk di China," kata Sloven, presiden Capstone International HK Ltd,sebuah devisi Capstone Companies, dari Deerfield Beach, Florida, pembuat barang-barang elektronik konsumen.
Kalangan produsen sudah sejak lama merasakan himpitan ini ketika China mengalihkan prioritasnya dari manufaktur biaya rendah ke industri teknologi tinggi sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk mengupgrade ekonominya.
Tetapi dengan tarif yang melonjak, "setiap orang akhirnya menyadari keadaan yang sebenarnya bahwa 'barangkali saya harus menghadapi kenyataan'", ujarnya.Kalangan produsen semakin saja risau bahwa "kelompok tarif berikutnya akan menjadi pembunuh".
Sloven kini sedang meningkatkan upaya untuk merampingkan prospeknya ke China, dengan menganeka-ragamkan menjadi pusat-pusat manufaktur yang sedang tumbuh seperti Thailand.
"Thailand, Vietnam, Malaysia dan Kamboja adalah negara-negara yang memiliki peluang potensial," ujarnya. "Namun demikian, hal itu tidak akan semudah yang dikira banyak pihak,dan anda tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya di China."
Wawancara dengan lebih dari selusin produsen mulai dari pembuat peralatan medis sampai perusahaan-perusahaan peralatan pertanian menggambarkan bagaimana perusahaan-perusahaan yang mengekspor ke AS kini memikirkan kembali kalkulasi mereka untuk membuat barang-barang di China.
"Sebelum tarif diberlakukan, kami berusaha memindahkan sekitar 30% produksi kami dari China ke AS," kata Charles M. Hubbs,direktur Eropa di Premier Guard, sebuah produsen produk-produk medis, menyitir alasan -alasannya seperti naiknya gaji, menyusutnya angkatan kerja dan melonjaknya ongkos.
"Dengan perkembangan tarif terbaru, dengan mengasumsikan tarif-tarif itu akan berlaku efektif, kami kemungkinan akan memindahkan sekitar 60% pabrikan kami keluar China ke AS."
Perusahaan-perusahaan lainnya kini sedang mengkaji pilihan-pilihan mereka.
"Dalam lingkungan tarif saat ini, maka wajar sajalah bagi perusahaan-perusahaan seperti kami punya dan yang lainnya untuk secara internal mengkaji-ulang dampak dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya," kata seorang eksekutif senior yang berkedudukan di China yang menangani sebuah manufaktur besar AS.
Langkah-langkah yang akan diambil termasuk "membatasi sumberdaya tambahan dari China, mengalihkan sumberdaya ke negara-negara lain, atau membawa kembali kerja ke AS".
Kalangan pejabat tingkat-menengah dari dua negara dijadwalkan mengadakan pembicaraan dagang pekan ini di Washington, meski kesenjangan antara dua pihak atas tuntutan AS bagi akses pasar yang lebih besar masih tetap saja lebar.(reuters)