Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Legenda Puteri Hijau, tak hanya sarat dengan nilai-nilai sejarah, namun juga budaya. Terutama pada dua kelompok besar masyarakat Sumatera Utara, yakni Melayu dan Karo. Ia menjadi anasir pertautan Kesultanan Deli dan Aceh, yang jejak-jejaknya perlu terus digali dan diangkat ke permukaan.
Cerita Puteri Hijau sudah sangat populer bagi masyarakat Sumatera Utara. Khususnya oleh rumpun masyarakat Melayu. Jejak peninggalan Puteri Hijau itu pun masih bisa dijumpai di Istana Maimon, Medan. Istana kebanggaan masyarakat Medan ini menjadi saksi sejarah akan kisah Puteri Hijau.
Dalam berbagai literatur, seperti yang pernah disampaikan Tengku Lukman Sinar, pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di Desa Siberaya, dekat hulu Sungai Petani (Sungai Deli).
Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau hingga tersohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Puteri itu dikenal sebagai Puteri Hijau. Kecantikan Putri Hijau berhasil menggugah hati Sultan Aceh, yang memerintah kala itu.
Dengan percaya diri, ia segera mengirim utusan untuk meminang Puteri Hijau. Tapi pinangan itu ditolak. Sultan Aceh murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina. Lalu menurunkan bala tentara dan membombardir Kesultanan Deli. Perang pun pecah.
Dalam cerita itu disebutkan Sang Puteri memiliki dua saudara kembar, Mambang Yazid dan Mambang Khayali. Mambang Yazid dapat menjelma menjadi seekor naga yang disebut Ular Simangombus. Sedangkan Mambang Khayali bisa berubah menjadi meriam yang kemudian dikenal dengan sebutan Meriam Puntung.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, pasukan Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Menurut versi masyarakat Melayu, pasukan Kesultanan Deli kewalahan menghadapi serbuan tentara Aceh. Dalam kepanikan itu, Mambang Khayali pun menjelma menjadi meriam. Ia terus melontarkan mortar ke pasukan Aceh. Lama kelamaan meriam itu menjadi panas, kemudian meledak. Meriam itu pecah.
Sebagian besar terlontar ke Labuhan Deli dan kini telah disimpan di Istana Maimoon. Sedangkan bagian lainnya, berupa moncong meriam tercampak ke Desa Sukanalu, Barus Jahe, Kabupaten Karo.
Keramat
MedanBisnis berkesempatan melihat langsung bagian yang tercampak di Tanah Karo itu. Bersama teman-teman sejarawan, MedanBisnis melakukan perjalanan menuju Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Karo, beberapa waktu lalu.
Desa Sukanalu berada sekitar 23 km dari Berastagi, ibukota Kabupaten Tanah Karo . Di ujung sebuah gang buntu di desa itu, tepat di bawah rimbunan pohon besar yang menjulang tinggi dengan akar-akar menjuntai, di sanalah moncong meriam itu berada.
Demi menjaga dari panas dan hujan, pemerintah bersama masyarakat setempat membuatkan sebuah bangunan permanen kira-kira berukuran 3 X 3 meter dengan atap berbentuk limas.
Bentuk meriam puntung ini mirip moncong buaya yang panjangnya kira-kira 60 cm. Terbuat dari batu hitam (pendapat lain menyebut besi) dengan lingkaran berupa cincin di tengahnya. Ujung depan dan belakangnya mengecil, sehingga bagian tengahnya nampak lebih besar. Bulatnya tak penuh, karena bagian bawah seperti terbelah. Ditaksir beratnya kira-kira 30 kg.
Ada satu kebiasaan bagi pengunjung yang datang. Mereka biasanya diminta untuk mengangkat meriam itu. Masyarakat percaya, hanya orang yang tulus saja yang bisa mengangkat meriam ini. Demikian juga MedanBisnis, mencoba mengangkat situs budaya ini. Namun tak berhasil. Benda itu sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Dari 6 orang yang mencoba mengangkat, cuma 1 orang yang berhasil mengangkatnya.
Menurut salah satu warga bermarga Sembiring, pernah ada usaha untuk menyatukan pecahan ini dengan yang ada di Istana Maimoon, tapi tidak berhasil. Benda ini tidak bisa diangkat meski beramai-ramai.
Selain itu, benda itu juga pernah dicuri oleh seseorang yang dicurigai berprofesi dukun. Masyarakat sekitar sempat geger. Namun tak berapa lama, situs ini kembali lagi ke tempatnya semula.
Bagi masyarakat Sutanalu, keberadaan pecahan meriam puntung ini diyakini membawa berkah. Mereka yakin peninggalan sejarah budaya ini memiliki tuah bagi siapa saja yang percaya.