Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Hanya dengan modal Rp 5 miliar lalu minta ganti rugi US$ 581 juta atau Rp 7,7 triliun, itulah yang dilakukan India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA). Perusahaan tambang asal India itu membawa pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional, gugatan masuk pada 23 September 2015 lalu.
IMFA mengaku rugi karena telah menggelontorkan uang Rp 5 miliar untuk membeli PT Sri Sumber Rahayu Indah tapi tak bisa melakukan penambangan. Sebab, Izin Usaha Pertambangan (IUP) di lahan seluas 3.600 hektar yang dimiliki PT Sri tidak Clean and Clear (CnC). IUP mereka tumpang tindih dengan IUP milik 7 perusahaan lain.
Menurut perhitungan mereka, potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat tidak bisa menambang batu bara ditambah investasi yang sudah mereka keluarkan mencapai US$ 581 juta.
Salah satu pengacara yang ditunjuk pemerintah untuk menghadapi gugatan IMFA ini, Teddy Anggoro, menilai nilai ganti rugi yang diminta sangat tidak masuk akal.
"Mereka investasi tidak langsung ke satu perusahaan, yaitu PT Sri. Izinnya tumpang tindih, enggak bisa usaha. Nilai kerugian yang mereka klaim membuat takjub, hampir Rp 8 triliun, terlalu bombastis," kata Teddy, Selasa (22/8).
Menurut Teddy, IMFA dapat digolongkan sebagai 'spekulan investor' karena investasinya bersifat spekulasi, mengincar keuntungan dengan coba-coba. IMFA mengakuisisi PT Sri dengan nilai hanya Rp 5 miliar lalu mencoba meminta ganti rugi ke pemerintah sebesar Rp 7,7 triliun.
"Dia bisa dikatakan 'spekulan investor'. Beli Rp 5 miliar lalu menuntut sampai hampir Rp 8 triliun," paparnya.
Perusahaan tambang itu tidak memenuhi berbagai persayaratan-persyaratan administrasi, termasuk persyaratan sebagai Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia. Saat melakukan investasi, IMFA harusnya melakukan pengecekan dulu dan melengkapi berbagai persyaratan. Ini salah satu indikasi kuat IMFA adalah spekulan investor.
Tak wajar pula mereka minta ganti rugi sampai Rp 7,7 triliun padahal banyak persyaratan yang tidak mereka urus. Kalau mereka memang serius mau menambang, semua persyaratan harus diurus dulu.
"Banyak hal-hal administrasi yang belum mereka selesaikan. Kalau mereka mau menambang, IUP harus dilengkapi dengan berbagai izin seperti izin pemakaian hutan, ketika kepemilikan asing masuk ke PT Sri maka dia harus jadi PMA, ada syarat-syarat yang belum dipenuhi," ujar Teddy.
Dalam Bilateral Investment Treaty (BIT) yang disepakati pemerintah Indonesia dan India serta Undang Undang PMA, spekulan investor tidak termasuk sebagai investor yang perlu dilindungi. "Di BIT dan UU PMA, spekulan investor tidak termasuk yang harus dilindungi," ucapnya.
Sekarang pemerintah sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menunjukkan IMFA hanya spekulan investor. "Kita ajukan alat bukti, sedang kita siapkan. Kita harus menemukan fakta-fakta yang menerangkan kondisi ini," tegasnya. (dtf)