Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Penyidik KPK beserta POM TNI melakukan pengecekan fisik helikopter Agusta Westland 101 (AW-101) di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Danpuspom TNI Mayjend TNI Dodik Wijanarko menyebut pengecekan tersebut juga melibatkan tim independen.
"Pengecekan fisik oleh tim ahli independen berkaitan dengan ahli pesawat. KPK nya ada tapi juga belum ngitung saya," kata Dodik Wijanarko, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (24/8).
Dodik tak merinci jumlah berapa anggota tim independen yang ikut melakukan pengecekan. Menurut dia, POM TNI hanya melaksanakan proses penyelidikan dan penyidikan.
"Yang pasti tugas kita hari ini melaksanakan proses penyidikan dan penyelidikan. Berkaitan dengan fisik oleh ahli jadi bukan dari kita," kata dia.
Dodik juga belum mengetahui apa hasil dari pengecekan fisik tersebut. "Nanti hasil akhir akan kita sampaikan," imbuh dia.
Sebelumnya, penyidik KPK beserta POM TNI melakukan pengecekan fisik heli AW 101. Rombongan KPK dan POM TNI tiba di Skadron Teknik 021, Halim Perdanakusuma, Jakarta sekitar pukul 10.50 WIB.
Dalam kasus helikopter AW-101, penyidik POM TNI telah menetapkan lima tersangka. Tiga di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Sementara itu, KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka pertama dari swasta. Irfan diduga meneken kontrak dengan AW (Augusta Westland), perusahaan joint venture Westland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, senilai Rp 514 miliar. Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar, sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. (dtc)