Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jayapura. Memasuki gerbang dermaga menuju Pulau Asei, Sentani, Jayapura, angin danau mulai terasa menyapa wajah. Angin yang berhembus semilir itu seolah menghapus rasa penat kami selama di kendaraan.
Memang, sepanjang perjalanan mata kami disuguhkan pemandangan Danau Sentani yang menawan. Jalan berliku dengan pebukitan di sisi jalan dan danau di sisi lainnya, seolah mengingatkan dengan view Danau Toba di Sumatera Utara. Namun perjalanan beberapa waktu lalu itu, cukup memuaskan bagi penulis.
Sementara itu, matahari mulai kelilhatan memerah di antara pebukitan yang tertutupi rimbunan pohon. Rasa penasaran langsung muncul dalam benak. Seperti apakah Pulau Asei yang kabarnya mirip-mirip dengan Pulau Samosir di tengah Danau Toba.
MedanBisnis dan rombongan pun tiba di dermaga. Sebuah perahu bermesin sudah menunggu. Dengan hati-hati kami naik. Tak lama kapal segera meninggalkan dermaga. Benarlah pemandangan Danau Sentani mirip dengan Danau Toba di Sumatera Utara.
Danau Sentani sendiri adalah danau terbesar di Papua. Terletak di selatan Kota Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura. Jika Danau Toba dikelilingi Bukit Barisan, Danau Sentani “dipagari” Pegunungan Cycloops.
Air Danau Sentani juga begitu jernih. Pada kedalaman tertentu kita dapat melihat dasar danau. Ikan mujahir, nila dan gabus merupakan kekayaan alam di Danau Sentani. Namun luas Danau Sentani lebih kecil dari Danau Toba. Hanya perlu setengah hari mengelilingi luasnya dengan perahu mesin.
Danau Sentani berada di ketinggian kurang lebih 75 mdpl. Ia terbentang antara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Di danau ini, terdapat 21 buah pulau kecil yang tersebar dari barat ke timur danau. Berdasarkan berbagai sumber, kata Sentani berarti "di sini kami tinggal dengan damai”. Nama Sentani sendiri pertama kali disebut oleh seorang Pendeta Kristen BL Bin ketika melaksanakan misionaris di wilayah danau ini pada abad 19.
Disebutkan juga bahwa Danau Sentani dan sekitarnya dahulu merupakan tempat pelatihan untuk pendaratan pesawat amfibi. Landasan ini dibangun oleh Jepang yang kemudian diambil alih oleh Angkatan Darat AS pada tahun 1944. Konon, Jenderal Mc Arthur pernah tinggal di pulau-pulau di atas danau ini.
Dalam database objek wisata nasional, Danau Sentani sendiri sudah cukup populer. Apalagi sejak digelarnya Festival Danau Sentani (FDS) yang biasa dilakukan setiap tahun. FDS sendiri telah ditetapkan sebagai festival tahunan dan masuk dalam kalendar pariwisata utama Papua.
Festival ini diisi dengan tarian-tarian adat di atas perahu, tarian perang khas Papua, upacara adat seperti penobatan Ondoafi (tokoh masyarakat) dan sajian berbagai kuliner khas Papua.
Pulau Asei
Kami tiba di Pulau Asei, sekitar pukul 6 sore waktu Papua. Kami disambut masyarakat Pulau Asei, terutama kaum perempuannya. Memasuki Pulau Asei, kami langsung dihadapkan dengan pemukiman penduduk yang rata-rata berdiri di pinggir danau.
Layaknya masyarakat pesisir, rumah mereka terpancang di tiang-tiang kayu yang ditancapkan ke dasar danau. Selain rumah penduduk, ada beberapa rumah panggung berukuran yang cukup besar.
Bangunan-bangunan itu adalah tempat pertemuan masyarakat dan juga dipakai untuk kegiatan-kegiatan adat. Contohnya pesta pernikahan. Bangunan yang bahan dasarnya terbuat dari kayu itu, berdiri kokoh di atas danau. Kadangkala turis-turis mancanegara yang datang ke Pulau Asei, menginap di sana sekedar merasakan suasana yang berbeda.
“Itu adalah rumah tempat pertemuan. Kalau ada yang pesta atau musyawarah, kami buat di sana. Kalau kemalaman biasanya kami juga boleh nginap. Turis juga boleh bermalam di sana. Banyak orang luar (bule-red) yang kalau kemari, pilih bermalam di sana. Mereka tidak mau tinggal di hotet,” kata Mama Ondo, salah seorang ondoafi (tokoh masyarakat) di Pulau Asei kepada MedanBisnis.
Ada gerbang kampung, tampak sebuah prasasti berbentuk salib. Pada prasasti itu tertera tertulis keterangan yang menyebutkan bahwa di pulau itu telah disebar injil sejak tahun 1928. Artinya sudah 86 tahun agama Kristen masuk ke pulau ini. Di atas bukit pulau ini juga terdapat situs gereja tua. Hampir secara keseluruhan bangunan gereja dibuat dari kayu.
Masyarakat Sentani, khususnya yang berdiam di Pulai Asei, termasuk ramah dan suka saling bercanda. Tidak perlu lama untuk saling akrab. Apalagi kebiasaan masyarakat Sentani suka bernyanyi mirip orang Batak, membuat semuanya menjadi cair. Profesi mereka selain nelayan dan bertani juga pengrajin, Terutama sejak Danau Sentani menjadi ditetapkan sebagai destinasi wisata nasional.
Menjelang malam kami disuguhkan dnegan berbagai menu khas Sentani. Apalagi kalau bukan papeda. Papeda adalah panganan yang menu utamanya (pengganti nasi) berbahan dasar sagu.
Bentuknya jel, layaknya perekat kertas. Papeda dimakan dengan menu lainya, seperti ikan atau hasil danau lain. Sesekali ia dicampur dengan pisang maupun kue olahan dari tepung sagu.