Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemberian fee 10% dari anggaran proyek ke kepala daerah merupakan pola yang sama dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terhadap beberapa kepala daerah beberapa waktu belakangan ini, hal ini pun menimbulkan pertanyaan, Apakah fee 10% sudah semacam keharusan disetiap proyek pemerintahan.
Agus Suriadi, pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara (USU) ketika ditemui medanbisnisdaily.com berpendapat, praktik manajemen fee seperti itu merupakan pola yang masif di semua struktur pemerintah, dari pusat ke daerah, dan prakteknya saya pikir sudah ada sejak orde baru (Orba).
Ia pun melanjutkan "Praktik- Pratik seperti ini justru makin terang-terangan dilakukan dan OTT yang dilakukan tidak hanya oleh KPK tetapi oleh lembaga lain seperti Kejaksaan dan Polri juga punya modus operasi seperti itu. Artinya beberapa kasus korupsi yang ditangani Polri dan Kejaksaan terutama di daerah-daerah, juga sama kasusnya berkaitan dengan menejemen fee dari mulai 10% bahkan sampai 50% dari nilai kontrak yg ada.
Ketika ditanya mengenai peran partai politik yang gagal menncetak pemimpin-pemimpin kepala daerah yang tidak koruptif, Agus pun mengemukakan pendapatnya. "Tidak juga, ini menjadi persoalan kegagalan partai tapi lebih mendasar pada pola perilaku individu atau oknum. Kalau kita lihat semua elemen di Indonesia terlibat korupsi dari mulai eksekutif, legislatif dan bahkan judikatif. Artinya bahwa perilaku korupsi seolah-olah jadi budaya di semua level struktur sosial masyarakat," imbunya.
Agus pun mengapresiasi kerja KPK, namun ia berharap pemerintah mengedepankan pencegahan terhadap praktek-praktek korupsi didalam negeri.
"Pemerintah untuk itu, tentu saja harus berupaya memerangi praktek-praktek koruptif dengan memperkuat fungsi pengawasan dan pembinaan internal dan mengedepankan azas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran," tutupnya.