Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Seamarang. Pertempuran 5 hari di Semarang dikenang dengan berdirinya Tugu Muda di pusat kota. Tapi tidak banyak yang tahu di tepi kota dekat laut ada monumen untuk memperingati peristiwa tersebut dari sudut pandang yang lain. Monumen tersebut bernama Chinkon no Hi
Nama lain Chinkon no Hi yaitu Ketenangan Jiwa, yaitu monumen berupa bongkahan batu dengan aksara Jepang yang dipahat. Sesuai namanya, lokasi tempat monumen tersebut sangat tenang karena berada di tepi muara sungai Banjir Kanal Barat tepatnya dekat pantai Baruna.
Ada ukiran berbahasa Indonesia berupa kisah yang menunjukkan sisi lain dari peristiwa yang terjadi tanggal 14 hingga 19 Oktober 1945 itu. Karena tidak hanya korban dari Indonesia yang bergelimpangan saat itu, namun juga warga sipil Jepang yang bekerja di Semarang dan sekitarnya.
Salah satu pengagas monumen, Aoki Masafumi yang merupakan perwira dari Jepang menuliskan kisah singkat para warga sipil bangsanya yang mengakui kemerdekaan Indonesia namun tidak bisa lolos dari pertempuran 5 hari di Semarang.
Aoki menuliskan setidaknya ada 150 warga Jepang yang tewas ketika ditawan di Penjara Bulu Semarang kala itu. Mereka warga sipil yang sebenarnya ingin kembali ke negara asal. Saat itu ditemukan goresan darah dari warga Jepang berupa tulisan yang mengakui Indonesia yaitu "Hidup Kemerdekaan Indonesia".
Dalam pahatannya, Aoki mengatakan wasiat itu ditulis sebelum ajal menjemput para korban. Aoki berharap jiwa para korban bisa tenang dan pengorbanan kedua belah pihak menjadi landasan perdamaian dunia.
Monumen tersebut resmi berdiri 14 Oktober 1998 dan diresmikan Walikotamadya Semarang, Soetrisno Soeharto.
Sejarawan Semarang, Jongkie Tio mengatakan dirinya pernah bertemu dengan Aoki dan mendengar cerita langsung dari saksi pertempuran itu.
"Jadi ini tidak hanya untuk tentara Jepang, namun juga warga sipil yang ikut terbunuh," kata Jongkie saat ditemui detikcom.
Warga sipil Jepang yang tewas merupakan pegawai yang tinggal di Weleri, Kabupaten Kendal. Saat pertempuran pecah, mereka berusaha menyelamatkan diri berjalan kaki menuju Jatingaleh Semarang tempat pusat tentara Jepang.
"Dulu ke arah Jatingaleh masih kebun. Tidak ada kendaraan, mereka jalan dan dihadang para pemuda Semarang," terangnya.
Bagi warga Jepang, monumen itu memang cukup sakral, bahkan punggung batu dibuat menghadap ke Utara sehingga ketika ada yang berdoa di depan minumen otomatis menghadap ke Tokyo, Jepang.
"Ini memang dibuat menghadap ke Tokyo, ke arah kaisarnya," pungkas Jongkie.
Sejak dibangun, banyak warga Jepang yang berziarah, namun semakin lama jumlahnya semakin sedikit. Tidak hanya warga Jepang, warga Belanda pun ada yang berziarah ke sana.
"Saya pernah diminta mengantar orang Belanda. Katanya ia selamat dari pertempuran 5 hari karena ditolong orang Jepang," kata Jongkie.
Biasanya ketika peringatan pertempuran 5 hari di Semarang, ada beberapa warga Jepang ke sana. Namun siang tadi tidak terlihat satu pun yang datang. Penjaga pintu masuk Pantai Baruna juga mengakui sejak kemarin dan hari ini belum ada warga Jepang yang datang.
"Kemarin belum ada, hari ini juga belum. Biasanya saya disuruh mengantar," kata penjaga.
Akses menuju ke monumen Ketenangan Jiwa memang cukup sulit karena hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Jika hujan, maka akses jalan akan berlumpur.
Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi sudah merencanakan pengembangan Monumen Ketenangan Jiwa sesuai Perda Kota Semarang nomor 5 tahun 2015 tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan kota Semarang tahun 2015-2025. Pengembangannya tetap akan menjaga makna dari monumen itu sendiri sebagai tempat ziarah.
"Hari ini mengingat monumen Ketenangan Jiwa merupakan salah satu obyek wisata di Kota Semarang yang berpotensi mendatangkan banyak wisatawan mancanegara terutama yang berasal dari Jepang," kata Hendrar, Minggu (15/10/2017).
Untuk menuju ke sana, melewati arteri Yos Sudarso masuk ke gang arah Pantai Baruna dan dikenakan tiket Rp 3.000 per orang. (dtc)