Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Semarang - Ketika warga korban pembangunan Waduk
Kedungombo ditekan habis-habisan oleh rezim Orde Baru pada dekade
1980-an hingga 1990-an, ada kehadiran khusus dari seorang ulama yang
selalu berperan di balik layar. Dia adalah KH Mahfudz Ridwan, yang
selalu dikenang sebagai sahabat yang melindungi dan menemani warga
yang menderita.
Almarhum KH Mahfudz Ridwan bersama Gus Dur dan Romo YB Mangun Wijaya
saat itu selalu hadir memberikan pendampingan dan pembelaan kepada
para korban. Kehadirannya selalu memberikan perlindungan dan
pengharapan bagi warga yang tertekan oleh rezim.
Karena kedekatan secara piribadi itulah, bahkan selanjutnya warga
Kedungombo menganggap KH Mahfudz sebagai saudara. Putra Mbah Mahfudz,
Muhammad Hanif, menceritakan masih sering warga Kedungombo datang ke
pesantren ayahnya membawa hasil bumi sebagai tanda persaudaraan.
Hingga sekarang, warga Kedungombo masih menjalin silaturahmi. Bahkan
ketika KH Mahfudz Ridwan wafat pada 28 Mei 2017 lalu, beberapa
sahabatnya dari Kedungombo juga datang untuk melepas kepergian Mbah
Mahfudz untuk selamanya.
KH Mahfudz Ridwan memang dikenal sebagai seorang aktivis yang gigih
dalam upaya memberdayakan ekonomi santri dan kalangan bawah pada
umumnya. Dia adalah kiai yang mencetuskan konsep ular (ulama rakyat),
sebagai upayanya untuk selalu membangun kedekatan dengan rakyat.
Kiai lulusan Universitas Baghdad tersebut memimpin Ponpes Edi Mancoro
di Gedangan, Tuntang, Kabupaten Semarang. Pesantren itu dijadikanya
sebagai laboratorium terbuka bagi seluruh santri untuk belajar
pemberdayaan masyarakat.
"Pesantren Edi Mancoro ini secara fisik bangunan sudah ada sejak 1989,
tapi kalau dari sisi ruh kependidikan atau pembelajarannya sejak tahun
1970 sudah dirintis oleh almarhum KH Mahfudz Ridwan melalui majelis di
masjid, bahkan termasuk di ruang tamu," kata Gus Hanif saat ditemui
detikcom, Jumat (20/10/2017).
Untuk itu, para santrinya baik mukim maupun tidak mukim, dulunya
belajar di masjid maupun ruang tamu rumahnya. Kemudian, muncul ide
dibangun sebuah pesantren di atas tanah patungan wakaf dari warga
masyarakat maupun almarhum yang dinamai Wisma Santri Edi Mancoro.
"Kenapa namanya Wisma Santri Edi Mancoro, tidak ponpes langsung pada
waktu itu. Ini karena memang pesantren ini atau gedung-gedung ini
didirikan dalam rangka untuk mempermudah operasional atau kegiatan
yang selama ini beliau lakukan yaitu dalam pemberdayaan masyarakat,"
katanya.
Bukti kedekatannya dengan rakyat jelata juga terlihat dari penamaan
pesantrennya. Menurut Gus Hanif, konon nama itu diberikan oleh seorang
mantan bromocorah sangat disegani. Bromocorah insyaf itu adalah
kenalan akrab KH Mahfudz. Dia berpesan kepada Kiai Mahfudz jika masih
punya anak laki-laki agar diberi nama Edi Mancoro.
"Nama Edi Mancoro dari bahasa Jawa, edi yang berarti baik, kemudian
mancoro kan cahaya yang bersinar. Bersinar kepada siapa, tentu untuk
menyinari masyarakat. Nah inilah cahaya yang menyinari masyarakat,
inilah nama Edi Mancoro. Kebetulan saya anak terakhir. Bapak lalu
melahirkan lembaga, kemudian dinamakan dengan Pesantren Edi Mancoro,"
tuturnya.dtc