Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Musim pilkada 2018 sebentar lagi akan tiba. Perhatian seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang ada di 171 daerah yang ikut dalam pesta demokrasi itu, akan tercurah. Begitu juga dengan masyarakat Sumatera Utara. Pada pertengahan 2018, masyarakat di daerah ini akan memilih gubernur dan wakil gubernur mereka yang akan memimpin daerah ini untuk 5 tahun ke depan.
Untuk mewujudkan pesta demokrasi yang jujur dan adil itu, peran seluruh stakeholder sangat dibutuhkan. Termasuk jurnalis yang juga merupakan bagian dari pilar demokrasi itu. Lewat pemberitaan media, masyarakat mendapat informasi seluas-luasnya tentang calon yang akan mereka piilih. Karenanya, dalam menyampaikan informasi itu, seorang jurnalis harus berlaku netral sesuai dengan metode kerjanya. Jangan sampai pemberitaan itu justru menjadi penyulut kekisruhan di dalam masyarakat.
Hal itu disampaikan pengamat media, yang juga pendiri Yayasan Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS), J Anto kepada medanbisnisdaily.com, Selasa (28/11/2017).
J Anto menegaskan, metode kerja jurnalisme itu adalah agama seorang jurnalis. Sebaliknya bukan agama jurnalis yang bekerja saat meliput isu yang berkaitan dengan rasialisme.
“Jurnalisme sudah ratusan tahun menyediakan dan mempersiapkan alat bagi jurnalis, cover both sides, bahkan jika perlu cover all sides, check and recheck. Memisahkan fakta dan opini, tidak mendramatisir, apalagi melakukan labelisasi. Itulah agama jurnalis,” ujarnya.
Terkait dengan Pilgubsu 2018 yang ditengarai masih juga akan rentan politik identitas, Anto mengakui dalam hal itu, seorang jurnalis harus menghindari subjektifitasnya. Namun begitu, Anto mengakui subjektivitas jurnalis memang sulit dihindari.
Pasalnya, bagaimanapun jurnalis juga punya sikap politik tertentu. Namun bagi jurnalis sejati metode kerjalah yang akan ia gunakan dalam liputan pilkada. Sehingga ia bersikap netral dan ketika menuliskan berita yang benar-benar proporsional. “Jangan pula justru jurnalis yang ngipas-ngipasin,” katanya.
Bisa jadi ketika seorang jurnalis hendak menyampaikan kritik maupun pandangan politiknya yang bersifat subjektif, namun ia jangan berlaku sebagai jurnalis. Boleh saja ia menulis opini sebagaimana layaknya seorang awam yang menuliskan pendapatnya ke sebuah media massa.
"Begitupun, tetap saja ada prinsip-prinsip yang biasanya telah menjadi standar yang berlaku di media itu. Misalnya tidak bersifat SARA apalagi sampai mengembuskan fitnah yang bisa merugikan satu-dua pihak," paparnya.
Pers sebagai bagian dari pilar demokrasi mempunyai peran penting dalam menyukseskan pilkada 2018 mendatang