Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan.Sejak lama ungkapan globalisasi sebagai penyakit dan harus dilawan karena dikhawatirkan bisa menggerus kebudayaan asli mengemuka. UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan tidak 'menyuruh' membangun tembok, melainkan ketahanan.
Staff Khusus Direktorat Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Alex Sihar mengatakannya dalam diskusi teater di rangkaian kegiatan Malam Renungan Teater (MRT) 2017, di Gedung Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, Sabtu (30/12/2017).
Dijelaskannya, poin penting dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah meletakkan dan menugaskan pemerintah melakukan tata kelola kebudayaan. UU ini mengatur tentang bagaimana mengelola, mendorong, memfasilitasi kebudayaan yang hidup di masyarakat serta menjadikan pemerintah sebagai subyeknya.
Tujuannya sesuai dengan UUD, memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dan bagaimana memajukannya lewat tahap perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan.
"Salah satu bentuk pemanfaatannya adalah untuk diplomasi internasional. Kebudayaan Indonesia, harus bisa memengaruhi kebudayaan internasional," katanya.
Antara kebudayaan luar dan kebudayaan Indonesia, yang mana sangat banyak generasi muda lebih cenderung menyukai budaya barat ketimbang budaya nasional, dia tidak melihatnya sebagai gemburan kebudayaan luar terhadap kebudayaan asli. "Malah UU ini menyuruh kebudayaan Indonesia merangsek keluar," katanya.
Dikatakannya, UU ini melihat bahwa budaya Indonesia itu sebagai proses interaksi antar kebudayaan yang ada dan hidup di Indonesia. UU ini bukan menjadi tembok dari budaya luar negeri. "Interaksinya yang penting. Ngapain sih kita musuhi kebudayaan yang ada. Globalisasi itu tak terelakkan. Sikap kita, tak cukup dengan membentengi atau membangun tembok. Tapi harus memiliki ketahanan. Analoginya, ketika terjadi tsunami atau gelombang besar, bagaimana ketahanan kebudayaan kita bisa jadi seperti di atas papan surfing, menguasai ombak, globalisasi itu. Bukan digulung tapi mengendalikannya," katanya.
Dia menilai, seharusnya kekayaan kebudayaan Indonesia bisa dihitung dalam angka, sebagaimana jumlah suku bangsa juga bisa dihitung. Apalagi, UU ini juga mengamanatkan pendataan kebudayaan.
"Bahwa kerjaan pendataan ini sudah dilakukan teman-teman, iya. Kayak misalnya di Jogja ada yang sudah mendata lukisan dan karya seni rupa. Kemudian ada yang sudah mendata soal bunyi dan musik tradisional. Lalu, hampir semua universitas di Indonesia yang punya jurusan sejarah punya data. Tapi belum terintegrasi satu sama lain," katanya.
Dalam diskusi ini, juga hadir sejarawan Ichwan Azhari, teaterawan Darma Lubis, Rita Matumona, dan teaterawan dari Malaysia, Ruslan Madun.