Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti sempitnya rentang waktu Pilkada 2018 dengan Pemilu 2019 serentak untuk Pileg dan Pilpres. Maraknya polemik mahar politik menimbulkan dugaan Pilkada menjadi ajang mencari dana ilegal untuk Pemilu 2019.
"Jeda hari penyelenggaraan pilkada dengan pemilu 2019, hanya 38 hari jedanya. Itu menunjukkan tidak ada waktu lagi parpol menghimpun dana pemilu," ucap Peneliti ICW Divisi Korupsi Politik, Almas Syafrina dalam diskusi di Sekretariat ICW, Jl Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Selasa (16/1).
ICW pun khawatir perhelatan pilkada 2018 menjadi alat bagi parpol untuk mencari dana Pemilu 2019. Pilkada serentak tahun ini dikhawatirkan digunakan menjadi 'transaksi'.
"Kami khawatir kontestasi pilkada 2018 diperjual-belikan untuk mendanai pileg dari sumber ilegal," tutur Almas.
Selain itu, mahar politik yang belakangan terungkap lewat pengakuan sejumlah pihak disebut lebih tinggi nilainya dari kontestasi yang sebelumnya. Korupsi calon kepala daerah ini sendiri dinilai ICW juga akan meningkatkan potensi korupsi calon saat telah memenangkan pilkada. Tujuannya untuk mengganti uang yang sudah dikeluarkan untuk terpilih sebagai pemimpin.
ICW menyebut, selama 8 tahun belakangan tercatat 215 kepala daerah teesangkut kasus korupsi. Entah itu yang ditangani KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian.
"Dengan mahar politik yang angkanya jauh lebih tinggi dari sebelumnya, ICW khawatir setelah 2018 korupsi kepala daerah akan semakin besar. Dikarenakan, dana APBN/APBD rawan dikorupsi kepala daerah. Setidaknya ada 3 hingga 4 calon gagal maju dalam kontestasi pilkada dan sudah mengungkap ini (soal mahar politik)," kata Almas.
Seperti diketahui, La Nyalla M Mattalitti mengungkap dimintai mahar politik senilai puluhan miliar rupiah oleh salah satu parpol untuk maju dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur. Bahkan dia sudah menyebut mengeluarkan dana Rp 5,9 miliar.
La Nyalla juga sudah pernah dipanggil Bawaslu untuk memberi klarifikasi soal pernyataannya. Hanya saja, dia tidak hadir.
"Kita mengapresiasi Bawaslu yang sudah memanggil La Nyalla untuk klarifikasi. Tapi kita harap tidak sekali, tapi terus ditindaklanjuti. Dugaan pelanggaran pasal 47 ayat (1) UU Pilkada ini," sebut Almas.
Selain itu, ICW melihat kontestasi politik saat ini bisa menjadi momentum bagi Bawaslu untuk menerapkan sanksi UU Pilkada tersebut. Namun, permintaan klarifikasi juga harus dimintakan secara berimbang juga kepada parpol, bahkan calon yang akhirnya diajukan.
"Apabila terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, penetapan dibatalkan, parpol bahkan terancam tidak bisa mengikuti pilkada periode selanjutnya. Ini bisa jadi pertama kalinya dalam sejarah sanksi tersebut diterapkan dalam pemilu," pugkas Almas. (dtc)