Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang baru saja disahkan dinilai sebagai cara DPR untuk mengontrol kritik publik. Hal itu sangat melukai semangat demokrasi sekaligus mengacaukan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia.
"Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), sesuai namanya seharusnya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan etika dan moral anggota DPR, bukan mengurus relasi rakyat dengan DPR," ujar pengamat politik, Saurlin Siagian kepada medanbisnisdaily.com, Kamis (15/2/2018).
"Sekarang DPR jadi kebal hukum. Tidak bisa diperiksa jika melakukan tindakan pidana. Semua harus melalui pertimbangan MKD. Ini mengacaukan sistem presidensial. Sekaligus berpotensi menimbulkan benturan MKD dengan rakyat. Lagi pula, pasal penghinaan itu sudah diatur dalam UU Pidana/KUHP jadi tidak perlu lagi diatur dalam MKD," kata dosen FISIP Universitas Darma Agung (UDA) Medan ini.
Saurlin menyatakan, sikap DPR ini menunjukkan bahwa DPR hanya fokus pada hal-hal yang menyangkut dengan dirinya.
Menurut Saurlin, kalau menyangkut rakyat, DPR sangat lambat. Misalnya pembahasan RUU pertanahan dan RUU masyarakat adat yang sangat lambat. Tetapi sangat cepat ketika mengurus dirinya sendiri, seperti pembahasan dan penetapan UU MD3.
"Artinya DPR tidak lagi memprioritaskan kepentingan rkayat, tetapi sibuk mengurusi dirinya sendiri," ujar aktivis yang pernah bergiat di Bakumsu ini.
Pada pasal 122 huruf k UU MD3 disebutkan MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Lewat pasal ini DPR bisa memidanakan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan mereka. Namun pemidanaan itu melalui MKD.