Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Dalam setahun terakhir, setidaknya terjadi 15 kasus kecelakaan konstruksi yang sebagian di antaranya terjadi pada proyek infrastruktur nasional. Insiden teranyar adalah robohnya bekisting pierhead proyek Tol Becakayu pada Selasa (20/2), yang memicu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menghentikan sementara terhadap semua proyek konstruksi bersifat elevated atau melayang.
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) mendukung penuh keputusan Kementerian PUPR tersebut. Wakil Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Heru Dewanto mengatakan, evaluasi sangat penting dilakukan saat ini di tengah percepatan pekerjaan yang dilakukan.
"Memang sudah mendesak untuk dilakukan evaluasi dan assesment secara menyeluruh terhadap pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur untuk menjamin seluruh proses pengerjaan proyek memang layak, aman, dan memberi hasil yang terbaik," kata Heru dalam keterangan resminya seperti dikutip, Rabu (21/2).
Menurut Heru, beberapa kasus kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kegagalan struktur (structural failure), namun terutamanya diakibatkan oleh kegagalan dalam proses pelaksanaan, khususnya terkait dengan pekerjaan pengangkatan (heavy lifting works) dan pemasangan (erection work).
Heavy lifting and erection works merupakan bagian dari kegiatan konstruksi yang mengandung resiko sangat tinggi terkait dengan aspek keselamatan (safety). Sehingga diperlukan persiapan, kesiapan dan kelengkapan dari seluruh elemen yang mendukung, seperti peralatan kerja, sistem dan prosedur kerja, serta SDM (operator, rigger, supervisor) yang kompeten. Juga perlu pengecekan dan pemantauan secara terus menerus sejak sebelum proses pengangkatan dimulai sampai dengan proses pemasangan diselesaikan.
Ironisnya, di saat yang sama, dari 7.000 Insinyur dengan sertifikat kompetensi profesional bidang teknik sipil saat ini, keahlian khusus yang terkait dengan pekerjaan pengangkatan dan pemasangan benda berat justru masih sangat kurang.
"Insinyur Profesional Heavy Lifting and Erection memang masih sangat kurang, dan bahkan kompetensi tersebut nyaris belum terdaftar di PII," tutur Heru.
Untuk itu, PII mengajukan sejumlah rekomendasi untuk mencegah insiden kegagalan dalam proses konstruksi proyek-proyek infrastruktur.
Yang pertama, segera melakukan pendidikan dan pelatihan untuk menghasilkan Heavy Lifting and Erection Professional Engineer dengan standard kompetensi dan jumlah yang memadai. Kedua, mensyaratkan alokasi Heavy Lifting and Erection Professional Engineer dan safety cost (biaya keselamatan) secara khusus di dokumen tender proyek-proyek infrastruktur skala besar.
Ketiga, PII juga menghimbau manajemen perusahaan pelaksana proyek infrastruktur untuk memastikan fungsi kerja maupun keandalan alat bantu kerja senantiasa terjaga dengan baik. Seperti peralatan berat, perlengkapan penerangan di area kerja sesuai standar kerja, selalu terjaga dalam musim penghujan, alat-alat dioperasikan oleh operator dan para asisten yang kompeten.
"Manajemen harus selalu memperhatikan dengan cermat aspek kompetensi, fisik, dan mental dari setiap tenaga kerja dan tim proyek yang terlibat di dalam pekerjaan heavy lifting and erection," katanya.
Heru juga menekankan tentang pentingnya keberadaan tenaga ahli keselamatan (Safety Engineer) yang kompeten dalam setiap pekerjaan konstruksi.
"Kehadiran safety engineer itu vital, apalagi mereka yang telah mengantungi standar kompetensi, untuk tenaga professional seperti itu manajemen perusahaan juga harus siap memberikan billing rate yang memadai. Safety engineer bukan insinyur kelas dua," tutup Heru.(dtf)