Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Damaskus. Gempuran pasukan pemerintah Suriah di Ghouta Timur yang terus berlangsung membuat warga setempat hanya bisa berpasrah diri. Sejauh ini sudah 296 orang yang tewas dalam gempuran udara selama tiga hari terakhir.
Seperti dilansir CNN, Rabu (21/2/2018), kelompok pemantau konflik Suriah, Syrian Observatory for Human Rights, melaporkan sedikitnya 250 warga sipil tewas dalam gempuran selama 48 jam di Ghouta Timur, Suriah, atau pada Senin (19/2) dan Selasa (20/2) waktu setempat.
Observatory menyebut, jumlah korban tewas untuk gempuran pada Selasa (20/2) kemarin mencapai 106 orang. Jumlah itu tercatat sebagai jumlah korban tewas tertinggi dalam sehari, sejak serangan kimia di Ghouta Timur tahun 2013 yang dilaporkan menewaskan 1.400 orang.
Sedangkan untuk gempuran pada Rabu (21/2) pagi, Observatory melaporkan sedikitnya 10 orang tewas di satu desa dan lebih dari 200 orang lainnya luka-luka. Seperti dilansir Reuters, Observatory menyatakan sejauh ini ada 296 orang yang tewas di Ghouta Timur akibat gempuran militer Suriah dalam 3 hari terakhir. Disebutkan setidaknya ada 58 anak-anak dan 42 wanita yang tewas dalam gempuran itu.
Ghouta Timur yang terletak di pinggiran Damaskus, merupakan distrik besar terakhir di dekat ibu kota Suriah yang masih dikuasai kelompok pemberontak. Pasukan loyalis Presiden Suriah Bashar al-Assad telah mengepung nyaris 400 ribu warga sipil yang terjebak di wilayah itu selama bertahun-tahun. Pengepungan itu semakin diperketat sepanjang tahun ini dan gempuran ke kawasan itu terus ditingkatkan.
Gempuran udara kembali marak sejak Minggu (18/2) waktu setempat. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengecam keras gempuran yang banyak mengenai rumah sakit dan bangunan sipil itu dan menyebutnya bisa mengarah kepada kejahatan perang.
Gempuran sedikit berkurang pada Selasa (20/1) malam, namun kembali intens pada Rabu (21/1) pagi. Pasukan rezim Assad menembakkan ratusan roket dan menjatuhkan sejumlah bom barel dari helikopter-helikopter di kawasan tersebut. Warga setempat hanya bisa pasrah.
"Kami menunggu giliran untuk mati. Ini satu-satunya hal yang bisa saya katakan," ucap warga setempat bernama Bilal Abu Salah (22), seperti dilansir Reuters.
Istri Abu Salah sedang hamil lima bulan di tengah gempuran yang tiada henti. Dia khawatir teror gempuran akan membuat istrinya melahirkan lebih awal. Situasi di Ghouta Timur sangat mengkhawatirkan dirinya, namun dia tidak bisa mengungsi.
"Nyaris semua orang di sini hidup di penampungan sekarang. Ada lima atau enam keluarga di dalam satu rumah. Tidak ada makanan, tidak ada pasar," tuturnya.
"Ini merupakan hari-hari terburuk sepanjang hidup kami di Ghouta. Kami di Ghouta telah dilanda serangan udara selama lebih dari lima tahun dan ini bukan hal baru bagi kami ... tapi kami tidak pernah melihat situasi meluas seperti ini," ucap Direktur Rumah Sakit Ghouta Timur, Amani Ballour. (dtc)