Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perkebunan kelapa sawit terbukti mampu menyumbangkan devisa yang sangat besar bagi perekonomian nasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun, di balik gemerlap prestasi itu, ada kisah sedih yang berpotensi membuat industri sawit nasional di masa depan "pincang".
"Kisah sedih yang saya maksud itu adalah yang terkait dengan perkebunan milik rakyat. Begini, sejak beberapa tahun lalu dan sepertinya akan terjadi hingga masa depan, tekanan global dan domestik membuat sawit Indonesia makin sulit berkembang," ujar pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Sumarjono Saragih kepada medanbisnisdaily.com melalui handphone, Kamis (22/2/2018).
Ia merinci. tekanan-tekanan dari pihak luar negeri itu berupa isu-isu negatif terkait sawit, plus tekanan dari domestik yang didominasi oleh kesulitan petani sawit mengembangkan sawitnya karena kesulitan akses bibit berkualitas namun murah, serta pola perawatan kebun sawit yang tidak seragam.
Problem ini juga ia sampaikan saat dirinya menjadi salah satu pembicara dalam sebuah seminar nasional di Jakarta yang membicarakan soal perkebunan sawit, Rabu-Kamis (21-22/2/2018). Seminar nasional itu berlangsung di Menara 165 dan dihadiri 150 orang yang mayoritas berprofesi sebagai petani sawit.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Provinsi Sumatera Selatan ini merasa wajar bila ada perhatian yang cukup besar diberikan pemerintah ke petani sawit. Sebab, sawit rakyat menguasai 42% dari total sawit nasional.
"Namun produktivitas sawit milik petani rendah karena usia tanaman yang sudah tua dan bibit sawit yang tidak jelas asal-usulnya, dus buruknya perawatan terhadap perkebunan sawit sendiri," papar Sumarjono.
Ia memaparkan, dari data yang ada, ternyata kini ada 2.4 juta hektare (ha) perkebunan sawit yang membutuhkan replanting secepat mungkin. "Dan ingat, petani sawit perlu dibantu," Sumarjono mengingatkan.
Kata dia, peremajaan harus menjamin produktivitas, baik bibit dan teknis budidaya, serta keberlanjutan. Dengan demikian, Sumarjono yakin kesejahteraan petani akan meningkat dan sekaligus pasar global tidak punya ruang lagi untuk melakukan diskriminasi dan ketidakadilan.
Kata dia, tekanan berat yang sama itu juga berpotensi dialami oleh para pengusaha sawit, baik yang tergabung dalam GAPKI maupun tidak, serta oleh lembaga-lembaga riset sawit. Efeknya jelas, petani dan pihak korporasi sulit melakukan ekspansi, baik ekspansi lahan dan pemasaran.
"Untuk mempertahankan mahkota 'raja sawit dunia' perlu upaya serius. Salah satunya adalah upaya intensifikasi, khususnya di perkebunan sawit rakyat," kata putra Batak yang sukses menjadi pengusaha di Provinsi Sumatera Selatan ini.
Ia mengingatkan, yang namanya korporasi, lembaga riset, dan pemerintah harus gotong-royong. GAPKI sebagai wadah korporasi dan salahsatu pemangku utama kelapa sawit seyogyanya menjadi aktor utama dalam gotong-royong ini.
Sebab, sambung Sumarjono Saragih, korporasi memiliki sumberdaya, pengalaman tatakelola, infrastruktur, dan jaringan organisasi di seluruh pelosok sentra sawit.
"Dalam seminar nasional tersebut saya menggelorakan slogan promotif "sawit adalah kita". Oleh karenanya semua kita harus ambil bagian, harus bergotong-royong menyelamatkan sawit. Karena sawit adalah anugerah yang Tuhan titipkan bagi negeri ini," tegas Sumarjono Saragih.