Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta. Tingginya prosentase generasi milenial alias pemilih zaman now yang mencapai 34 persen menjadi daya tarik tersendiri bagi partai politik. Menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago preferensi pemilih milenial ikut menentukan peta politik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2019. Dia menyebut tiga alasan pemilih milenial patut diperhitungkan di pesta politik tahun depan.
Pertama, mereka termasuk pemilih rasional. Kedua, pemilih melenial bersifat populis. Alasan ketiga adalah tingginya prosentase pemilih milenial, yakni 34 persen. "Mereka enggak suka gaya kampanye konvensional, seperti kampanye resmi, terbuka. Namun mereka lebih cair enggak suka suasana formal," kata Pangi kepada detik.com, Rabu (28/2/2018).
Melihat fakta tersebut, mau tidak mau dari sisi personal branding partai politik dan politikus harus beradaptasi dengan gaya milenial. Politisi tua, kata dia, juga harus segera beradaptasi dan masuk ke wilayah cara berpakaian mereka (generasi milenial). "Apa yang mereka sukai, komunitas dan hobi mereka. Menyesuaikan dengan apa yang mereka sukai," kata Pangi.
Tak hanya dari personal branding, bentuk kampanye partai politik juga harus berubah. Perilaku pemilih milenial misalnya tidak suka dengan artikel panjang dan berbusa-busa. Sehingga pendekatan pada segmen ceruk pemilih milenial adalah kekinian dan masuk ke konten program populisme yang sederhana dan menjadi hobi mereka.
Pemilih milenial juga tak terlalu mempersoalkan basis ideologi dan platform partai politik. Pangi menyebut saat ini semua parpol sudah mulai bergeser ke tengah, dari partai catch all party (basis ideologi dan platfom) bergeser ke partai berbasis match all party (basis populisme dan programatic).
"Semua parpol ideologi kiri dan kanan bergeser ke tengah merebut ceruk segmen potensial pemilih populisme, program, melenial dan rational choice. Karena semua parpol baru dan lama bergerak ke tengah, sehingga berebut segmen pemilih yang sama," kata Pangi.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez memiliki pandangan berbeda. Menurut dia hingga saat ini masih ada perbedaan definisi tentang pemilih milenial. Ada yang menyebut pemilih milenial adalah yang berada di rentang usia 17 - 34 tahun, ada juga yang membatasi sampai 40 tahun.
Lepas dari itu, Arya melihat sejauh ini gerakan generasi milenial belum mempengaruhi panggung politik tanah air. "Generasi milenial sampai hari ini dari sisi politik pengaruhnya belum terlihat, gerakan untuk mendorong perubahan politik juga belum ada dan isu apa yang ingin mereka perjuangkan juga belum terlihat," kata Arya.
Bahkan jumlah generasi milenial yang suka dengan politik cenderung menurun. Hal ini terlihat dari sedikitnya anak-anak muda yang aktif di kegiatan organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Padahal itu penting karena mereka lah nantinya yang akan menjadi pemimpin. (dtc)