Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Sejak tiga tahun lalu Rumah Karya Indonesia berkegiatan di Desa Paropo, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi. Kegiatannya bertema Camping 1000 Tenda yang diikuti ribuan peserta dari berbagai kalangan dengan berbagai kegiatan menarik dan edukatif pula. Di tahun ke tiga ini, RKI masih akan menggelar di Paropo. Apa alasannya?
Direktur Tao Silalahi Art Festival, Ojak Manalu, Rabu (18/7/2018) mengatakan, setidaknya masih dua tahun lagi RKI akan tetap berada di Paropo untuk berkegiatan bersama dengan masyarakat. Hal tersebut menurutnya tidak lepas dari komitmen untuk terus mendampingi masyarakat lebih berdaya dalam mengangkat potensinya. RKI, kata dia, hanyalah jembatan bagi masyarakat untuk berproses bersama-sama.
Ojak menyebutnya sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat idealnya tidak bileh tanggung-tangggung. Menurutnya, kalau dalam proses memberdayakan masyarakat lalu ditinggal begitu saja di tengah jalan, akan membuat bingung masyarakatnya. "Bagi kita, konsep pemberdayaan masyarakat, tidak boleh tanggung dan masyarakat tidak boleh digantung-gantung," katanya.
Dia menilai, selama ini masyarakat sudah memiliki rutinitasnya sendiri. Di saat pagi pergi ke ladang di sore hari pulang ke rumah. "Tiba-tiba ada kegiatan yang mendatangkan orang ribuan di kampungnya, lalu ditinggal. Mana mungkin? Jadi esensinya bagi kami adalah, kita di Paropo sudah 3 tahun. Dengan lae Hermanto, kita terbantu. Kami tak mau meninggalkan yang kami tumbuhkan," katanya.
Menurutnya, juga menjadi hak bagi siapa saja untuk berkegiatan di sana. TASF yang dulunya bernama Silahisabungan Art Festival (SAFe) #1 & #2, lahir dari diskusi yang larut dan tajam. "Jadi kawan-kawan silakan membantu sesuai dengan perannya. Selain di silalahi ada Dokan Art Festival di Karo tapi tahun ini kta tunda dulu karena sesuatu. Lalu di Samosir ada Festival Pasir Putih, itu hanya di sana, tidak dibuat di tempat lain," katanya.
Herman Situngkir, tokoh pemuda di Desa Paropo mengatakan, kegiatan RKI di Paropo sangat berdampak positif bagi masyarakat. Dijelaskannya, dulunya masyarakat hanya menyewakan pondok. Bertahun tahun hanya membangun pondok dan menjual ikan bakar.
"Setalah adanya Silahisabungan Art, sekarang usaha atau yang dulu belum ada sekarang sudah ada. Misalnya penyewaan tenda. Toko outdoor di sana tidak lagi kalah dengan yang di Medan. Kita menyediakan tenda dan alat-alat naik gunung, safety nya ada. Ini juga karena kunjungan wisatawan atau dari kelompok pecinta alam yang berkomunikasi dengan kami," katanya.
Lalu, anak-anak muda di Paropo, kini sudah banyak yang menjadi guide. Berbeda dengan dulu, yang rutinitasnya ke ladang lalu berjudi dengan bermainleng, mabuk, tidur, bagun pagi lalu ngopi. "Kalau sekarang, datang lah ke Paropo. Kalau di kedai, mereka menikmati hasil. Nanti bisa dilihat, hari Minggu pagi, jam 8 - 11 anak muda tak ada yang di kede. Tapi dari jam 5 sore, baru ada di kede mereka berkumpul. Ada yang main judi juga, di sana jadi budaya. untuk kumpul," katanya sambil tertawa.
Dampak lainnya, ujar wakil direktur TASF ini, jika pada dua event sebelumnya mereka kesulitan untuk mengajak pemuda-pemudi untuk terlibat, tahun ini, mereka sedikit 'sombong' untuk menerimanya menjadi bagian dari TASF. Pemuda-pemudi dari Tongging, Paropo 1 dan Paropo 2, Silalahi 1, 2 dan 3, terlibat di dalam TASF. "Saya punya satu harapan, jangan mengkampungkan orang kampung karena sebenarnya oranng batak sangat pantang. Menurutku kegiatan ini sangat luar biasa," ungkapnya.
Idris Pasaribu, seorang seniman kenamaan di Medan mengatakan, seyogyanya TASF bisa mengangkat seni dan Silalahi sesuai dengan namanya. Bukannya musik dangdut ataupun rock. Orang luar datang ke Danau Toba, menurutnya bukan mau lihat itu. Mereka ingin melihat apa yang dimiliki orang BatakDicontohkannya, gendang terkecil di dunia itu gendang Karo. Gendang terpanjang di dunia hanya ada di Batak. Taganing, bisa menjadi chime (bunyi = alat bunyi-bunyian) berfungsi sebagai rhytm maupun melodi. Menurutnya, chime di sumut ini luar biasa.
"Pertanyaannya, kapan itu dimainkan. Terakhir gordang sembilan pas pesta anak Jokowi. Kenapa tidak diangkat ke permukaan Silalahi Art Festifal ini mengangkat itu? Dan itu tu semua ada di parmalim. Saya katakan, Nomensen tidak membawa ulos, Nomensen tidak membawa Dalihan Natolu, itu semua produk Parmalim yang sampai sekarang masih ada. kenapa tidak diangkat," ujarnya.