Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Putra bungsu Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) menyebut 20 tahun reformasi tidak membuahkan hasil maksimal. Malah, Ketua Umum Partai Berkarya itu menyatakan KKN kini makin parah. Benarkah demikian?
"Reformasi janjikan KKN hilang, tapi nyatanya makin parah. Utang luar negeri semakin besar. Investasi asing pun semakin dimanja," kata Tommy, kepada wartawan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/7) kemarin.
Benarkah demikian? Amanat Reformasi 98 salah satunya menghasilkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Salah satunya adalah untuk mengusut KKN di lingkaran Soeharto, termasuk keluarganya.
"Dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme," demikian bunyi pertimbangan TAP MPR XI/MPR/1998 yang dikutip, Senin (23/7).
TAP MPR itu ditandatangani oleh Ketua MPR Harmoko pada 13 November 1998. Ikut pula menandatangani 5 wakilnya. Meski demikian, pengusutan KKN Soeharto harus dilakukan sesuai koridor hukum.
"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia," demikian bunyi Pasal 4.
MPR menyatakan KKN di era Soeharto sangat subur karena kekuasaan Soeharto sangat sentral dan berkuasa penuh.
"KKN lahir karena dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris MPR RI (Soeharto-red) yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," ujar MPR.
"Dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional," demikian pertimbangan MPR tersebut.(dtc)