Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Perampasan wilayah adat di kawasan Danau Toba sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 yang menyatakan Hutan Adat Bukan Hutan Negara hingga hari ini belum dihentikan. Masyarakat Adat Batak umumnya masih terus mengalami intimidasi dan konflik dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk, serta klaim hutan negara.
Masyarakat Adat Batak yang tergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak sampai hari ini terus mendorong pemerintah, khususnya Pemda untuk segera mengakui dan melindungi masyarakat adat Batak untuk mengakhiri konflik di wilayah adat, yaitu agar pemerintah daerah segera mengesahkan peraturan daerah tentang Masyarakat Adat seperti amanat Putusan MK 35.
Masyarakat adat terdiri atas Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita (Lamtoras), Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun; Masayarakat Adat Matio Kecamatan Borbor, Kabupaten Tobasa; Masayarakat Adat Sihalapang, Desa Maranti Timur, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Tobasa; Masayarakat Adat Simenahenak, Tobasa; Masyarakat Adat Natumingka, Tobasa; Masyarakat Adat Tukko Nisolu, Tobasa. Juga Masyarakat Adat Huta Aek Napa dan Tor Nauli dari Tapanuli Utara.
Dalam rilis yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu (15/8/2018), AMAN Wilayah Tano Batak menyatakan mereka melakukan upaya pendekatan persuasif kepada pemerintah dengan langsung mendatangai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Kemaritiman) dan Kantor Staf Presiden di Jakarta selama seminggu ini.
"Kami mendesak KLHK untuk segera menghentikan konflik yang timbul berulang kali di wilayah adat di Tano Batak. Jalan penyelesaian yang kami minta kepada KLHK adalah upaya pengukuhan hutan adat," kata AMAN.
Langkah berikutnya yang paling mungkin bisa ditindaklanjuti sementara menunggu proses Perda atau SK Bupati tentang Masyarakat Adat, adalah inventarisasi/pencadangan hutan adat.
Pencadangan hutan adat saat ini, lanjutnya, merupakan jalan keluar untuk menghentikan segala aktivitas perusahaan maupun kehutanan yang kerap berujung pada kriminalisasi dan atau konflik yang sangat merugikan Masyarakat Adat.
AMAN Tano Batak mendukung pemerintah dalam mewujudkan Danau Toba sebagai destinasi wisata bertaraf internasional. Setelah Jokowi menetapkan Danau Toba sebagai salah satu prioritas pariwisata nasional. Hal tersebut tentunya harus diawali dengan pengakuan wilayah adat milik masyarakat adat di kawasan Danau Toba lewat produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati.
"Kami berterima kasih atas respon baik para pihak yang bersedia kami temui selama di Jakarta. seperti respon dari Direktorat Jenderal (Dirjen) PSKL Kementerian LHK yang bersedia untuk menemui Bupati dan DPRD dalam waktu dekat ini dalam rangka mempercepat penerbitan Perda Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba," kata AMAN.
Dirjen PSKL juga akan segera melakukan inventarisasi/pencadangan hutan adat khususnya di wilayah adat yang selama ini berkonflik dengan pemegang konsesi (PT TPL). Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan juga merespon baik keinginan Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba dan patut diapresiasi.
"Komitmennya untuk melindungi wilayah adat ditegaskan kembali lewat pernyataan Staf Khusus Kemenko Kemaritiman Lambok Simorangkir dalam pertemuan di Kantor Kemenko. Sekaligus terlibat dalam mengkawal proses inventarisasi wilayah adat yang sedang dilakukan oleh KLHK," tulis AMAN.
Demikian juga komitmen Kantor Staf Presiden (KSP) melalui Staf Ahli Utama Deputi II Abednego Tarigan yang akan berkoordinasi dengan KLHK untuk memastikan percepatan proses inventarisasi hingga pengukuhan wilayah adat.