Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kasus kejahatan lingkungan, mulai dari perambahan, perburuan dan perdagangan tumbuhan satwa liar (TSL) dilindungi serta konflik dengan manusia dan satwa terus terjadi. Tak jarang hukuman yang ditimpakan oleh hakim seolah tidak memberikan efek jera. Penegakan hukum multi door dianggap bisa dijadikan 'jurus' untuk menjerat para penjahat lingkungan dengan hukuman kumulatif untuk memberikan efek jera.
Hal tersebut mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) Pra-Kajian Kapasitas Penegakan Hukum Sektor Kehutanan Lingkup Landscape Leuser, di Hotel Antares, Jalan Sisingamangaraja, Medan, yang diselenggarakan selama dua hari (25-26/9/2018).
Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Jokon Iswanto, mengatakan, kegiatan ini untuk mencari gambaran bagaimana potret penegakan penegakan hukum terkait kejahatan di sektor kehutanan.
Banyak pihak pemangku kepentingan dan penegak hukum yang dilibatkan dalam diskusi fokus ini, mulai dari Balai Besar Konserasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), Kejaksaan, Polri, dan juga mitra lembaga swadaya masyarakat.
"Banyak kasus yang terjadi baik di Leuser maupun di Sumut. Kita sendiri merasa banyak putusan kasus TSL tersebut hanya menyentuh masyarakat sekitar. Putusan-putusan itu banyak yang belum memuaskan kita," katanya, Kamis (26/9/2018).
Dia mengakui bahwa di TNGL masih terjadi kasus-kasus kejahatan seperti perambahan dan perburuan TSL. Namun menurutnya, sudah bisa relatif diantisipasi dengan patroli bersama dengan mitra kerja dari LSM yang setiap bulan menjelajahi hutan TNGL untuk mengantisipasi kejahatan lingkungan.
"Kalau ditemukan jerat harimau atau jerat babi kita akan cepat menangani," katanya.
Kepala Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Balai Gakkum LHK) Wilayah I Sumatera, Edward Sembiring, mengatakan, dari FGD ini nantinya akan ada rekomendasi kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam hal penegakan hukum lingkungan. Menurutnya, aspek pencegahan dan penegaka hukum tidak bisa dilepaskan. Karenanya, diperlukan peran serta aktif dari para pihak.
"Saya rasa perlu dikluster, tidak hanya pidananya, karena pengalaman kami, ternyata itu tidak terlalu signifikan efek jeranya," katanya.
Dia menilai, saat ini tidak lagi zamannya berbicara kewenangan siapa sementara praktik perusakan lingkungan dan perburuan TSLterus terjadi. Semua pihak yang berkepentingan punya peran penting. Dia mewacanakan penegakan hukum dengan multi door yang mana yang mana seorang penjahat lingkungan bisa dijerat dengan berbagai undang-undang tergantung pada kewenangannya.
"Tolong dibayangkan kalau dalam kasus tsl ini, Pihak Bea Cukai menyidik dengan UU Kepabeanan, Balai Karantina dengan UU Karantina, kami dengan UU 5/90 tentang KSDAE atau UU 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaah Lingkungan Hidup (PPLH) kepada orang yang sama dan barang bukti yang sama, diadili bersama ini pasti akan kumulatif. tidak lagi alternatif. Ini yang saya katakan penegakan hukum multi door," katanya.
Darmawan Liswanto selaku konsultan yang memandu acara mengatakan, kegiatan ini penting dilakukan karena faktanya perburuan dan perambahan di lanskap (bentang alam) penting terus terjadi sehingga perlu dilihat apa saja yang masih menjadi persoalan selain anggaran dan sumber daya manusia (SDM).
Menurutnya, yang perlu dilihat dan dicermati adalah bagaimana menyiasati keterbatasan yang ada sehingga bisa direplikasi di tempat lain.
Dijelaskannya, masyarakat dan pemerintah bisa berkaca pada kasus illegal loging di Kalimantan Barat di mana banyak akademisi dan lsm yang mengkaji dari berbagai sisi mulai dari kriminologi, kejaian dan lain sebagainya,sehingga melahirkan UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
"Mudah-mudahan ini bisa ke sana. Jadi walaupun misalnya pemerintah bilang UU 5/90 belum perlu direvisi, dari sini ada kebijakan antara yang bisa dikeluarkan apakah itu permen atau apa nanti lah," katanya.