Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Palu sedang berduka. Seluruh masyarakat sempat pupus harapan bertahan hidup saat gempa menghancurkan pondasi-pondasi bangunan yang mereka tempati, membelah jalan yang mereka lalui. Semacam tak ada lagi tempat untuk berlindung saat itu!
Namun, di tengah duka itu, masih ada oase yang menyejukkan hati. Sebanyak 43 dari 51 kafilah Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQN) XXVIIasal Sulawesi Tengah (Sulteng) tetap semangat bersiap untuk mensyiarkan Alquran. Satu di antaranya adalah Hairunnisa, penyandang tunanetra.
Nisa, panggilan akrab anak bungsu dari enam bersaudara pasangan alm Bahrun Makarau dan Nurdiyah ini usai berlomba di Aula King Abdul Aziz, Asrama Haji Medan tanpa segan berbagi cerita. Perjuangannya bertahan menjadi bagian dari rombongan kalifah MTQN Sulteng menjadi topik yang paling semangat ia kisahkan.
Ia mengaku, saat kejadian gempa dan tsunami, dirinya tengah berada di Asrama Haji Palu mengikuti masa karantina atau training MTQN bersama 50 peserta lainnya. Wanita kelahiran 10 Juni 1998 ini saat itu bersiap mengambil wudhu untuk salat magrib dan sedang sendiri ditinggal kakak asuhnya, Suhestin yang sedang mengambil koper dan baju ke rumah untuk dibawa ke Medan.
"Saya sendiri saat itu di dalam asrama, saat gempa saya sempat lari dan kebentur beberapa barang. Bahkan karena panik saya sempat jatuh dan masuk ke bawah kolong tempat tidur. Saya ketakutan, cuma bisa berdoa dan berdzikir. Berlahan saya beranikan diri keluar dan itu pun saya sempat masuk got, hp saya jatuh. Alhamdulillah, ibu tukang masak di asrama haji langsung menolong saya untuk keluar. Bangunan di asrama haji tidak rubuh, tapi sudah terbelah dindingnya di bagian tengah dan beberapa sisi lainnya. Badan saya banyak luka karena kebentur, saya pun tidak tahu kebentur apa saja," katanya saat ditemui di Asrama Haji, Jalan Abdul Haris Nasution, Medan, Senin (9/10/2018) sore.
Nisa pun akhirnya mengungsi ke wilayah yang lebih tinggi dengan beberapa peserta lainnya. Tiga hari, Nisa lost contact dari keluarganya. Ia mengungsi hari pertama dengan rekan-rekannya kemudia ke Masjid Agung bersama guru dan kakak asuhnya.
"Setelah tiga hari, saya baru bertemu mama saya dan tahu kalau ternyata semua selamat. Alhamdulillah ibu, keponakan dan semua yang di rumah selamat. Ibu saya tinggal di salah satu perumahan di Palu Barat," katanya.
Nisa sempat ingin mengundurkan diri dari rombongan Kafilah karena ingin ikut ibu dan keluarganya mengungsi ke rumah saudaranya diLuwuk Banggai. Tapi karena semangat dari ibunya, ia memberanikan diri untuk kembali ke Asrama Haji. Bersiap untuk syiar ke Medan.
"Mama bilang, jangan takut karena saya termasuk berjuang di jalan Allah, mensyiarkan Alquran. Kalau soal meninggal, semua ada masanya, dan harus dihadapi. Akhirnya saya semangat terus," katanya sembari mengatakan, ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu saat dia duduk di bangku SD.
Kata Nisa, setelah bencana, kehidupan di Asrama Haji berubah. Latihan menjadi sangat tidak maksimal dan penuh ketakutan. Seluruh peserta tidur di musolah, bahkan ia dan beberapa lainnya memilih tidur di luar dengan karpet seadanya karena masih terjadi gempa susulan.
"Semua awalnya berjalan dengan baik, jadwal kami sudah disiapkan sangat baik oleh panitia. Rencananya kami berangkat tanggal 3 Oktober, kemudian diundur. Alhamdulillah berangkat di tanggal 4 Oktober, tapi itu pun kesulitan karena kita semua tim gak enak sama masyarakat yang mau pulang ke daerahnya masing-masing dengan Hercules. Tapi dengan komunikasi, akhirnya kita semua bisa terbang. Hercules menuju Balikpapan, lanjut Surabaya dan ke Medan," katanya.
Sesampai di Medan, perjuangan belum usai. Nisa sempat pingsan saat daftar ulang. Ia terkejut dengan suara petir. "Saya kira itu gemuruh gempa, saya ketakutan kemudian lemas dan pingsan. Saya masih sangat trauma," katanya.
Tak hanya itu, saat menginap di hotel, Nisa juga sempat ketakutan. "Saya di sini menginap di hotel dan di lantai lima. Awalnya, aduh takut sekali, tapi kata mama saya jangan takut, zikir saja. Saya disemangati terus sama keluarga," kisahnya.
Kepada wartawan, Nisa berharap kejadian di Palu bisa menjadi pelajaran bagi semua manusia. Ia juga mengajak semua masyarakat Palu untuk kembali ke Palu.
"Saya ingin berpesan kepada semua masyarakat Palu untuk jangan takut. Ayo kembalilah ke Palu, kita bangun sama-sama kilota kita untuk bangkit kembali. Palu butuh kita," katanya.
Usai bertanding, Nisa berniat menyelesaikan pendidikannya, saat ini ia masih duduk di bangku Kelas 2 SMA. Ia memiliki cita cita menjadi seorang guru dan membangun majelis atau yayasan untuk orang berkebutuhan khusus, seperti tunanetra untuk mendalami Alquran.
"Saya ingin lebih banyak lagi penyandang tunanetra di Sulteng, khususnya Palu yang bisa menghafal atau mensyiarkan Alquran. Dengan Alquran, hati bisa tenang," katanya.
Nisa sudah belajar membaca Alquran sejak kecil dengan ayahnya. Tapi, belajar atau mendalami Alquran dengan tartil sejak tahun 2013 silam.
"Saya terinspirasi dari teman saya yang menang MTQ. Sebenarnya dari dulu saya lebih sering ikut lomba nyanyi, bahkan saya sempat menang group band untuk anak berkebutuhan khusus pada acara Festival Lomba Seni Siswa Nasional ABK. Terus saya coba solo tapi tidak pernah menang dan akhirnya lihat teman menang MTQ, jadi saya beralih ingin ikut MTQ juga," katanya mengakhiri.