Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara (USU) menilai, kasus tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Deliserdang, dengan terdakwa Tamin Sukardi sangat janggal sehingga perlu dilakukan penelitian secara ilmiah.
Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU Dr Edi Yunara mengungkapkan, dalam proses hukum yang terjadi terhadap Tamin Sukardi cukup ganjil. Edi menyebut proses hukumnya bila dikaji dalam teori, menerapkan Crime Control Model yang secara sederhana menekankan kepada asas praduga bersalah. Artinya, kata Edi, asalkan administrasi sudah cukup maka bisa diproses untuk dilakukan penahanan dan diajukan sidang ke pengadilan. Padahal, lanjut Edi, seharusnya dalam hukum mengedepankan asas praduga tak bersalah. Edi menyatakan hal ini tidak lazim dalam peradilan Indonesia sehingga perlu kajian mendalam tentang fakta hukum.
"Kasus Tamin Sukardi cukup unik, karena yang melawan perbuatan hukum sebenarnya tidak diproses. Malahan, saksi yang dijadikan tersangka yaitu Tamin Sukardi," ungkap Dr Edi Yunara saat memberikan keterangan pers kepada wartawan, Selasa (6/11/2018).
Menurut dia, dalam perkara ini putusan hukum terhadap terdakwa bersumber dari dakwaan jaksa dinilai keliru. Sebagai contoh, sebut Edi, pelakunya satu orang tetapi diterapkan Pasal 55 KUHP. Hal ini jelas bertolak belakang, karena dalam penerapan pasal tersebut cenderung lebih dari satu orang pelakunya. "Bisa dibilang kecelakaan hukum dalam dunia peradilan di Sumatera Utara. Kalau seperti ini kondisi hukum kita, tentu masyarakat akan takut menjadi saksi karena bakal terlibat lantaran mengetahui. Kondisi hukum seperti itu juga merupakan suatu kemunduran dan sangat bahaya," sebutnya.
Diutarakan Edi, penelitian yang dilakukan ini merupakan inisiatif pihaknya karena melihat perkara itu cukup intens diberitakan media massa. Oleh karenanya, segera dibentuk tim yang berjumlah lima hingga enam ahli hukum dengan latar belakang berbeda seperti hukum pidana, perdata, niaga hingga ekonomi yaitu Prof Syafruddin Kalo, Prof Budiman Ginting, Prof Hasyim Purba dan lainnya. "Hasil penelitian kami nantinya akan disampaikan ke publik paling lambat 10 hari ke depan," tuturnya.
Edi menyatakan, penelitian yang dilakukan ini merupakan salah satu fungsi keberadaan perguruan tinggi selain pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. "Nantinya hasil dari penelitian ini jika memungkinkan, maka akan dimasukkan ke dalam jurnal internasional dan berdampak terhadap peringkat USU sendiri," ucapnya.
Ia menambahkan, tidak ada maksud-maksud tertentu apalagi menggiring opini dan bahkan memengaruhi putusan hakim dalam penelitian tersebut. "Tujuannya tak lain untuk pembelajaran hukum di Sumatera Utara agar kedepannya lebih baik lagi," pungkasnya.
Sebelumnya, kuasa hukum Tamin Sukardi Fachruddin Rifai menyatakan, putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang memutuskan Tamin Sukardi bersalah melakukan tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II merupakan keliru besar.
Menurut Fachruddin, bagaimana mungkin Tamin Sukardi dinyatakan bersalah sementara fakta-fakta dan saksi-saksi yang terkutip ditranskrip pengadilan menyatakan sebaliknya. Fachruddin menilai, putusan persidangan Tamin Sukardi di Pengadilan Negeri Medan beberapa waktu lalu sangat dipaksakan dan sarat tekanan.
“Sangat jelas tekanannya karena sejak awal penanganan kasus di Kejaksaan Agung, Tamin Sukardi yang sudah berumur 75 tahun dengan penyakit jantung kronis ditahan tanpa penangguhan,” kata Fachruddin.
Fachruddin mengaku heran dengan sikap Kejaksaan Agung yang terlalu ngotot mengadili Tamin Sukardi. Padahal, kliennya bukan pihak yang melakukan pengikatan dengan kuasa ahli waris pemegang hak yaitu Tasman Aminoto, yang sudah meninggal dan hanya terlibat sebagai saksi di perjanjian PT Erniputra Terari untuk mengalihkan hak (bukan jual beli) kepada PT Agung Cemara Realty.
Selain itu, Tamin Sukardi juga bukan pemegang saham ataupun pengurus di PT Erniputra Terari yang bukan seluruhnya milik keluarga.
"Keterlibatan Tamin Sukardi berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum adalah berkolusi dengan Tasman Aminoto (almarhum) sejak pembuatan surat keterangan ahli waris di 2002. Sementara, keduanya pertama berkenal di tahun 2006 dan tidak ada satupun saksi di pengadilan yang kenal dengan Tamin Sukardi sebelum itu. Jadi dimana salahnya Tamin Sukardi,” ungkapnya.
Dia juga menyatakan, lahan eks HGU PTPN II dimaksud sesungguhnya sudah ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap yang menyebutkan para ahli waris pemegang hak tahun 1954 adalah pemilik sah atas lahan eks HGU dan sudah dilakukan eksekusi tahun 2011. “Pertanyaannya lagi, apakah penetapan eksekusi oleh pengadilan sudah tidak lagi berharga di negeri ini,” ujar Fachruddin.
Ia melanjutkan, adalah fakta hukum bahwa lahan eks HGU tersebut sudah tidak lagi menjadi milik PTPN II dan seharusnya dilakukan hapus buku sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Hal ini juga didukung oleh fatwa Pengadilan Tinggi Medan bahwa proses penghapusbukuan merupakan tindakan administrasi yang berlaku secara internal di lingkungan BUMN dan tidak menghalangi proses permohonan hak baru. “Kita bertanya kenapa “kealpaan” PTPN II dalam menghapusbuku lahan yang sudah dieksekusi oleh pengadilan menjadi masalah Tamin Sukardi,” ujar Fachruddin dengan nada heran.
Sebagai informasi, lahan 106 hektare di Desa Helvetia yang dipersoalkan telah dilakukan hapusbuku oleh PTPN II pada Desember 2017 setelah memeroleh Legal Opini dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada Maret 2017. Namun, kata Fachruddin, Kejaksaan Agung malahan mentersangkakan Tamin Sukardi dan menahannya pada 30 Oktober 2017 sehingga sangat ironis bahwa pertimbangan hukum legal opini tersebut juga tidak dihiraukan oleh sesama Korps Adhiyaksa, padahal dalam Pasal 2 ayat 3 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, terdapat asas.
Kejaksaan satu dan tidak terpisahkan (openbaar ministerieis een en ondwelbaaren de procurwur generaal aan het hoofd). Namun asas inipun hanya sekedar slogan penghias halaman kantor.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan bulan Agustus lalu memvonis Tamin Sukardi dengan hukuman 6 tahun penjara dan ganti rugi Rp 232 miliar karena melakukan tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II di desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Atas putusan ini, kuasa hukum Tamin Sukardi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan.