Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com. Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis menilai kebijakan 100% penanaman modal asing di sektor industri strategis bagi bangsa dan negara akan lebih banyak keburukannya dibanding kebaikannya. Jika kebijakan pemerintah tersebut tetap dilaksanakan, dipastikan bertentangan dengan amanah UUD 1945.
Ketua Umum FSP BUMN Strategis, Wisnu Adi Wuryanto menyatakan itu menyikapi rencana pemerintah merelaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan mengeluarkan 25 bidang usaha dari daftar DNI, di
antaranya sektor telekomunikasi dan informasi (TI), energi dan sumber daya mineral (ESDM), kesehatan, dan pariwisata sehingga terbuka 100% untuk penanaman modal asing (PMA).
Melalui siaran persnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu (5/12/2018) malam, dia menegaskan, kebijakan pemerintah saat ini di bidang investasi pada empat sektor, khususnya TI dan ESDM sudah sangat
liberal. Menurut dia, hendaknya tidak ditambah lagi, bahkan mestinya dikurangi agar kedaulatan bangsa terjaga.
“Dengan kepemilikan asing boleh mencapai 67% di sektor TI dan 49% di sektor energi seperti yang berlaku saat ini sudah sangat terbuka. Mestinya dikurangi agar anak negeri masih menjadi pemilik mayoritas di
rumahnya sendiri,” kata Wisnu.
Dia pun mengingatkan, telekomunikasi dan energi merupakan cabang produksi penting bagi negara demi hajat hidup orang banyak. Hal ini, lanjutnya, dinyatakan di dalam UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, serta UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Implikasi daripadanya, jelas Wisnu, pemerintah harus memegang kendali atas arah perkembangan dan kepemilikan telekomunikasi dan energi guna memastikan sumber daya yang terbatas itu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, sebagaimana amanah pasal 33 UUD 1945.
“Kita bisa bayangkan, apabila penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap, jaringan telekomunikasi bergerak, penyelenggaraan jasa konten dan aplikasi, pengelolaan energi hulu serta pengelolaan energi hilir
sepenuhnya dikuasai asing maka negara ini seperti menyerahkan kedaulatan industri strategis ke pihak asing. Karena kita tahu betapa pentingnya sektor telekomunikasi dan energi dalam menggerakkan perekonomian, kesejahteraan, sosial budaya, bahkan pertahanan keamanan
negara,” beber Wisnu.
Wisnu lantas mempertanyakan, apa jadinya apabila misalnya nomor-nomor telepon para pejabat negara teregistrasi di operator telekomunikasi yang sahamnya 100% dimiliki asing? Lebih jauh lagi, imbuhnya, apabila sektor energi yang jadi kebutuhan vital rakyat dilayani oleh perusahaan asing akan mengakibatkan negara dan bangsa akan kehilangan kedaulatannya.
Ditegaskan Ketua FSP BUMN Strategis yang membawahi serikat pekerja di Telkom, PLN, PJB, Indonesia Power, dan Telkomsel dengan anggota puluhan ribu karyawan itu, kekuatan satu-satunya untuk mempertahankan kedaulatan adalah kepemilikan modal. Sementara, saat ini ketergantungan Indonesia pada asing dalam hal produk teknologi telekomunikasi dan energi sangat tinggi, di mana jaringan telekomunikasi yang tersebar di Indonesia, perangkat konstruksi dan pengeboran migas hampir seluruhnya produk impor.
“Apa jadinya bila para produsen perangkat dengan teknologi tinggi tersebut dibolehkan memiliki modal sampai 100% saat mendirikan perusahaan jasa turunan produk-produk tersebut? Jika hal itu tetap dilaksanakan, mari kita tunggu hancur dan matinyaperusahaan-perusahaan baik BUMN maupun swasta nasional yang mengelola sector-sektor tersebut. Ini kondisi yang sangat jauh dari cita-cita ingin berdaulat di sektor telekomunikasi dan energy,” papar Wisnu.
Khusus sektor telekomunikasi/ICT, ungkapnya, saat ini dengan permodalan maksimal 67% asing sumbangan kepada defisit neracaperdagangan di bidang ini sekitar Rp 2,3 triliun, karena kita belum bisa memproduksi sendiri, sehingga harusnya pemerintah lebih berkonsentrasi mendorong dan menumbuhkembangkan industri agar bisa mengurangi defisit, bukannya membebaskan kepemilikan sampai 100% kepada asing.
Meski demikian, Wisnu menyatakan, FSP BUMN Strategis tetap mengapresiasi pemerintah yang telah membuka ruang diskusi untuk mempertimbangkan masukan dari para stakeholder industri.
“Memperhatikan pentingnya dua sektor strategis di atas, kami minta kepada Bapak Presiden RI mempertimbangkan kembali rencana relaksasi DNI 100% terhadap sektor energi dan telekomunikasi. FSP BUMN Strategis menilai kebijakan 100% PMA di sektor industri strategis, untuk bangsa dan negara diyakini akan lebih banyak keburukannya dibanding kebaikannya,” kata dia.