Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat bersama KPK mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyadapan. KPK menjelaskan soal praktik penyadapan yang selama ini dilakukan.
Rapat yang digelar di kompleks DPR, Jakarta, Kamis (6/12/2018), itu dipimpin oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman dan dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif serta Kabiro Hukum KPK Setiadi.
Dalam rapat ini, Syarif menyampaikan bahwa selama ini penyadapan di KPK dilakukan pada tahap penyelidikan. Hal itu, menurut Syarif, berbeda dengan penegak hukum lain yang melakukan penyadapan saat kasus masuk tahap penyidikan.
"Kekhawatiran itu hadir karena, pertama, kami di KPK melakukan penyadapan itu pada tahap penyelidikan. Kebanyakan para penegak hukum lain pada saat penyidikan. Makanya perlu kami sinkronkan. Kenapa hal itu terjadi karena kami itu nggak boleh SP3 (surat penghentian penyidikan perkara)," kata Syarif.
Dia menyatakan KPK baru memulai penyidikan jika sudah ditemukan dua alat bukti. Untuk itu, penyadapan dilakukan sejak penyelidikan.
"Kalau nanti di tahap penyidikan (penyadapan), biasanya kalau berani naik penyidikan biasanya sekurang-kurangnya dua alat bukti sudah nyata. Untuk teman-teman di polisi dan kejaksaan itu nggak akan menjadi masalah karena bisa penyidikan kalau nggak ada bukti bisa di SP3," kata Laode.
"Tapi, setelah dipikir-pikir, agak takut juga kenapa waktu UU dibikin KPK nggak diberi kewenangan SP3. Karena oleh APH lainnya sering disalahgunakan," sambungnya.
Sebelumnya, draf RUU Penyadapan yang mengatur soal tata cara menyadap beredar. KPK menilai RUU tersebut dapat memperlemah upaya pemberantasan korupsi.
Dalam draf RUU Penyadapan--yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2018 berdasarkan inisiatif DPR itu--diatur soal penyadapan yang harus dilakukan lewat koordinasi dengan pengadilan. Penyadapan harus dilakukan dengan Ketetapan Ketua Pengadilan Tinggi. dtc