Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Peternak Rakyat dan Peternakan Mandiri mendatangi Kementerian Perdagangan (Kemendag). Para peternak tersebut mengeluhkan jatuhnya harga ayam hidup (live bird/LB).
Berdasarkan catatan peternak per 26 Maret 2019 harga ayam hidup menyentuh harga paling bawah sebesar Rp 11.000 per kilogram (kg) atau jauh dari harga pokok produksi (HPP) di Rp 19.500 per kg.
Ketua PRPM Sugeng Wahyudi mengeluhkan rendahnya harga ayam hidup yang jauh di bawah HPP. Misalnya saja di Yogyakarta dan Solo sebesar Rp 10.500 per kg sedangkan di wilayah Pantura sebesar Rp 13.000 per kg.
"Artinya, harga-harga itu jauh di bawah biaya pokok produksi yang besarannya Rp 18.500. Kondisi udah berlangsung hampir 7 bulan dan sangat memberatkan peternak, sehingga pemerintah, Kemendag harus ikut aktif terlibat menyelesaikan itu," kata Sugeng di Kemendag, Jakarta Pusat, Jumat (27/3/2019).
Penyebab anjloknya harga ayam hidup dikarenakan tingginya biaya produksi yang meliputi naiknya harga ayam DOC dan pakan ternak. Selain itu, kelebihan produksi juga ikut menyumbang anjloknya harga ayam hidup.
"Kementan udah mengungkapkan hal yang sama, di bawah harga pokok produksi. Biaya-biaya tinggi karena sarana produksi tinggi, harga anak ayam tinggi. Di Kementan, ada penurunan di DOC dan harga pakan," kata Sugeng.
Peternak juga mengaku rugi dengan anjloknya harga ayam hidup. Selama 7 bulan ini, peternak sudah merasakan kerugian sebesar Rp 5.000 per kg.
Para peternak juga meminta Kemendag menetapkan harga ayam hidup sebesar Rp 20.000 per kg. Diharapkan ketentuan tersebut bisa berlaku April 2019.
Selain itu, harga pakan ternak juga diminta turun Rp 500 per kg yang diharapkan berlaku akhir bulan ini. Peternak juga meminta kepastian pasokan DOC sesuai kebutuhan rutin.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Pedaging Jawa Tengah, Parjuni dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa ia sudah merugi sebesar Rp 1,4 miliar. Estimasi kerugian tersebut sebesar Rp 200 juta setiap bulannya selama 7 bulan.
"Oktober Rp 200 juta, sampai hari ini 7 bulan berarti saya sudah rugi Rp 1,4 miliar. Padahal, untuk produksi 100.000 itu kurang lebih sekitar Rp 1,4 miliar cashnya," ujar Parjuni.(dtf)