Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mungkin, inilah matematika politik. Jika Capres yang populer dan berelektabilitas tinggi berasal dari parpol tertentu, maka parpol itu akan kecipratan mendulang suara. Buktinya, ketika Joko Widodo dari PDIP pada 2014-meskipun dicalonkan oleh beberapa koalisi parpol-PDIP keluar sebagai juara Pileg dengan perolehan sekitar 18-19% mengikuti kemenangan Jokowi-JK.
Kali ini pun, meskipun masih hasil sementara seraya menunggu pengumuman KPU pada 22 Mei 2019, tampaknya Jokowi-Ma’ruf Amin akan tampil sebagai pemenang. Nah, PDIP pun-walau masih hasil sementara KPU-juga unggul di puncak dengan perolehan suara sekitar 20%.
Fenomena yang sama terjadi Pemilu 2004. Duet SBY-Jusuf Kalla memenangkan Pilpres, dan Golkar – partai asal JK-menjadi juara Pileg dengan perelehan suara 21,58%. Apalagi figur SBY sangat bersinar kala itu.
Gejala yang sama terjadi pada Pilpres 2009. SBY-Boediono memenangkan Pilpres, dan partai Demokrat menjadi juara Pileg yang meraih suara 20,85%.
Namun ketika SBY tak lagi bisa mencalonkan diri pada Pilpres 2014-karena sudah dua periode-suara Demokrat turun menjadi 11%-an. Pemenang Pileg 2014 adalah PDIP mengikuti kemenangan Capres-Cawapres yang dicalonkannya, Jokowi-JK.
Nah, bagaimana kelak dengan Pemilu 2024? Apakah ketika Jokowi tak lagi bisa mencalonkan diri karena sudah dua priode, posisi PDIP pun akan terimbas? Saya kira sangat tergantung kepada figur Capres yang dicalonkan oleh PDIP.
Haruslah dicari figur yang selain populer juga mempunyai tingkat elektalibitas yang tinggi. Tentu saja dibarengi dengan kompotensi yang mumpuni, integritas moral yang tangguh serta tokoh yang nempunyai gagasan yang inovatif dan cemerlang.
Kita masih ingat para Pemilu 1999. Meskipun PDIP tampil spektakuler memenangkan Pemilu dengan raihan suara 33,74%, namun dalam pemilihan presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang populer dan berelektabilitas tinggi meraih suara 53,28% mengalahkan Megawati dengan suara 44,72%, yang kala itu belum dengan sistem pemilihan langsung.
Namun ketika pemilihan Wakil Presiden, Megawati meraih suara 56,57% mengalahkan Hamzah Haz dengan suara 40,57%.
Pada Pemilu 2004, di saat PDIP menjadi partai penguasa dan Megawati menjadi Presiden, justru PDIP mengalami penurunan drastis menjadi 18,53% suara (turun 15%). Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi malah dikalahan oleh duet SBY-JK.
Walau Golkar memenangkan Pemilu 2004, Namun Capres-Cawapresnya, Wiranto-Salahuddin Wahid dikalahkan oleh SBY-JK.
Ironi masih terjadi pada Pemilu 2009. Walau Golkar menjadi partai penguasa, karena sang ketua umum JK menjadi Wakil Presiden, namun JK yang berduet dengan Wiranto dikalahkan oleh pasangan SBY-Boediono.
Saya kira, figur menjadi sangat sentralis dalam memenangkan Pilpres. Parpol yang mencalonkan figur yang populer dan mempunyai elektabilitas tinggi akan berpotensi memenangkan Pileg.
Semoga bisa menjadi referensi bagi semua parpol yang kelak bertarung dalam Pemilu 2024. Sejarah adalah guru terbaik!