Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mari berhitung. Jika diturunkan 12% sampai 16% dari harga tiket pesawat sekitar Rp 2 juta, apakah sudah terbilang murah? Artinya, kira-kira hanya terpangkas sekitar Rp 240.000 hingga Rp 320.000. He-he, harga tiket masih sekitar Rp 1.680.000 hingga Rp 1.760.000.
Barangkali, itulah sebabnya mengapa Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran memandang keputusan pemerintah menurunkan tarif batas atas tiket pesawat antara 12%-16% belum tentu meringankan masyarakat.
Coba bandingkan harga tiket Padang-Jakarta itu berkisar Rp 1,8 juta-Rp 2,8 juta. Padahal dari Padang-Kuala Lumpur-Jakarta hanya Rp 800.000.
Tak heran muncul anggapan bahwa masalahnya adalah bagaimama menyehatkan persaingan karena pasar maskapai Indonesia hanya dikuasai oleh Garuda Indonesia Group dan Lion Group.
Berbeda jika kompetisi antarmaskapai lebih ramai. Dengan kata lain, munculnya pemain baru sehingga menjadi 4 atau 5 maskapai. Nah, otomatis akan terjadi persaingan harga dan pelayanan, yang pada akirnya akan memuaskan para penumpang.
Tentu saja persaingan harga yang “gila-gilaan” harus diatasi dengan regulasi. Misalnya, dengan menetapkan harga batas atas dan bawah yang menjamin setiap maskapai tetap bisa menuai untung.
Memang, jika kompetisi bisnis maskapai sehat, maka fluktuasi harga akan mengikuti pasar. Bahkan regulasi tentang batas atas dan bawah tak lagi berpengaruh secara signifikan. Buktinya, tiket pesawat ke Singapura dan Kualalumpur tak dikenakan kewajiban batas atas dan bawah tetapi harga tiket lebih murah.
Tentu saja efek era deregulasi penerbangan sejak 2000 yang memberikan izin bagi maskapai penerbangan baru untuk menerbangi rute-rute gemuk, tak lagi kebablasan. Kala itu, maskapai boleh mengoperasikan walau hanya punya dua pesawat.
Kita ingat, kala itu, maskapai penerbangan bak jamur di musim hujan. Jika sebelum 2000 hanya ada 5 maskapai, pasca deregulasi meningkat menjadi 15 maskapai.
Jumlah penumpang pun membludak. Jika pada 1998 hanya 6 juta penumpang per tahun. Namun pada 2009, jumlahnya melonjak drastis menjadi 40 juta penumpang per tahun.
Pemerintah juga membiarkan harga tiket pesawat berdasarkan mekanisme pasar. Maskapai berlomba menjual tiket semurah mungkin. Perang harga tak terelakkan.
Akibatnya banyak yang terpaksa gulung tikar. Bouraq, Sempati Air, Air Wagon, Star Air, Jatayu, Kartika Airlines, Indonesia Airlines, terpaksa mengibarkan bendera putih. Juga disusul oleh Batavia Air dan Mandala.
Melewati tahun 2010, dunia penerbangan tumbuh mencengangkan. Jumlah penumpang di Bandara Soekarno – Hatta mencapai 62 juta pada 2013, jauh di atas kapasitas bandara yang hanya 20 juta penumpang per tahun. Hal ini juga dialami hampir seluruh bandara besar di Indonesia.
Barangkal masih terlalu dini memperkirakan dampak regulasi pemangkasan tarif baru yang mulai berlaku pada 15 Mei 2019. Marilah bersangka baik. Boleh jadi masih diperlukan waktu untuk melihat akibatnya, apakah penumpang kembali ramai atau tidak?