Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dua sejoli, suami istri, yang mempunyai empat anak lelaki yang sudah menikah dan masing-masing mempunyai tiga anak hanya hidup dari satu hektare sawah. Sepuluh tahun silam, ketika anak-anaknya belum menikah, keluarga itu pun hanya hidup dari satu hektare sawah yang sama.
Kita terbayang grafik pendapatan keluarga itu setelah 10 tahun menurun 500% karena masing-masing keluarga, dua sejoli kakek-nenek, dan 4 keluarga anak-anaknya hanya hidup dari 0,20 hektare sawah yang dulunya satu hektare.
Kisah ini tentu kuno. Sebab, jika ekstensifikasi pertanian dilakukan, maka sawah yang tadinya satu hektare saban keluarga tetap terpertahankan. Bahkan pemekaran luas sawah itu bisa melampaui satu hektare sehingga masing-masing keluarga bisa mempunyai 2 hektare sawah, atau lebih.
Thomas Robert Malthus dalam buku tipis klasik berjudul An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvement of Society, pernah mengingatkan bahwa pertumbuhan penduduk selalu “berlari kencang” dibanding pertumbuhan luas dan produksi pertanian.
Malthus bilang, penduduk cenderung tumbuh secara "deret ukur" (dalam lambang 1, 2, 4, 8, 16 dan seterusnya). Sedangkan persediaan makanan cenderung bertumbuh secara "deret hitung" (misalnya, dalam deret 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan seterusnya). Malthus berkesimpulan bahwa kuantitas manusia akan kejeblos ke dalam rawa-rawa kemiskinan dan berada di tubir kelaparan.
Teori klasik ini dapat dibantah dengan adanya ekstensifikasi dan intensifikasi berupa modernisasi maupun rekayasa produksi pertanian. Misalnya, pemupukan, benih unggul, irigasi dan sebagainya.
Referensi Pernikahan
Sayangnya yang dilakukan keluarga kakek-nenek itu hanya memekarkan status keempat anaknya yang semula lajang dan lalu menikah alias berumah-tangga. Bukan memekarkan luas persawahan keluarga itu. Bukan pula memodernisasi dengan teknologi pertanian.
Masih ada cara lain, misalnya diversifikasi usaha keluarga. Misalnya, anggota keluarga tersebut, selain tetap bertani, juga mempunyai pekerjaan lain yang nonpertanian.
Pemekaran memang pernah sangat popular di Sumatera Utara, dan sekarang kembali nyaring terdengar. Istilah itu sendiri rada abstrak, jika yang dimaksudkan adalah kontra dari kuncup. Pemekaran rupanya lebih dimaknai sebagai peningkatan status gabungan beberapa kabupaten-kota meraih status provinsi baru. Bukan memperluas wilayah. Persis seperti naiknya status seorang lajang ke jenjang rumah-tangga.
Ada ilustrasi menarik soal dua sejoli yang hendak mewujudkan buah cinta mereka, seperti dilukiskan oleh Bung Karno di masa revolusi dulu. Menurut Bung Karno, anak muda harus berani menikah meskipun hanya mempunyai satu tikar, satu periuk dan rumah gubuk. Maju terus pantang mundur!
Yang penting menikah dulu, metaphor Bung Karno, untuk kemerdekaan. Tak mungkin menunggu lengkap segala perabotan, pekerjaan yang bagus atau mata pencaharian yang menjamin, baru kemudian berani menikah. Indonesia merdeka harus direbut dengan semangat dan cita-cita setinggi bintang-bintang bertaburan di langit.
Namun menikah ala metaphor Bung Karno yang nekad dengan bermodal satu tikar, satu periuk dan gubuk sangat cocok di masa revolusi, ketika Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Di era modern ini, mestilah dengan perencanaan yang konseptual. Jangan sampai bunga mekar tak jadi!
Misalnya, calon pengantin pria dan wanita sudah mempunyai pekerjaan tetap. Barulah menikah. Kira-kira, perekonomian beberapa daerah sudah meningkat, barulah menuntut berstatus provinsi.
Di Malaysia bahkan seorang pria berani menikah setelah mempunyai pekerjaan tetap, satu rumah dan satu mobil. Saya terbayang, keluarga muda di Malaysa itu akan tangguh menghadapi gelombang tantangan kehidupan.