Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Koalisi adalah satu bukti kelemahan partai politik (parpol) di masa reformasi ini. Sistem multipartai telah membuat perolehan suara dalam Pemilu terbagi-bagi, sehingga tidak ada single majority seperti Golkar di era orde baru. Tak heran jika hendak mengajukan Capres saja harus berkoalisi agar memenuhi syarat 20% suara dalam Pemilu.
Tak bisa dimungkiri, koalisi bertujuan untuk merebut kekuasaan. Masalahnya, dengan siapakah parpol tertentu berkoalisi dengan parpol lain? Jika sekadar untuk merebut kekuasaan, tentu saja yang sama-sama punya perolehan suara lumayan dalam Pemilu DPR.
Dalam kondisi seperti itu, aspek kesejarahan menjadi tidak penting. Walaupun Golkar dan PDI dan sekarang bernama PDIP pernah menjadi musuh bebuyutan pada masa orde baru, tapi bukankah tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik? Yang abadi adalah kepentingan politik untuk memenangkan Pilpres. Titik!
Koalisi tampaknya hanya demi kepentingan sesaat. Terbukti “koalisi” Golkar dan Partai Demokrat agak retak di ujung pemerintahan SBY-JK. Golkar justru berkoalisi dengan PDIP dalam Koalisi Kebangsaan.
Koalisi memang bisa menjadi tak nyaman jika untuk kepentingan sesaat dan bukan untuk kepentingan strategis jangka panjang. Yang terakhir ini membutuhkan kesamaan ideologi serta visi dan misi.
Koaliasi tak bisa menghindari bargaining politik, siapa mendapat apa, hanya akan langgeng jika mempunyai kepentingan jangka panjang yang sama dan sebangun pula.
Pengalaman kabinet Gus Dur, Megawati dan SBY-JK sesungguhnya menjadi bukti. Kendatipun parpol mempunyai menteri di kabinet, tetapi fraksinya di parlemen malah menyerang kebijakan kabinet.
Jika meminjam istilah pertanian, barangkali koalisi yang permanen adalah koalisi hibrida. Maksudnya, setiap parpol yang bergabung mempunyai banyak kesamaan ideologi serta visi dan misi, sehingga ibarat di dunia pertanian muncullah benih unggul karena terbentuk dalam proses hibrida. Saling sesuai, dan bukannya satu lebih menguasai dari yang lainnya.
Berbeda dengan koalisi sinkretik, dalam makna ada zat dan kimiawi lain yang menempel pada sebuah entitas parpol, sehingga cenderung menjadi “benalu politik.” Jenis koalisi sinkretik ini tak mustahil akan menikam dari belakang jika kepentingan politiknya berubah di kemudian hari. Biasanya terjadi di ujung pemerintahan menjelang Pemilu dan Pilpres lima tahun di depan.
Marilah kita uji apakah Koalisi Indonesia Kerja (KIK) akan langgeng hingga 2024. Rasanya, masing-masing parpol, setidaknya PDIP, Golkar dan PKB berniat maju dalam Pilpres dan akan saling bersaing. Saat itu, Jokowi sudah dua periode dan tak boleh mencalonkan diri lagi.