Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Asyik juga menyimak fenomena putra-putri, atau keluarga orang penting diwacanakan menjadi calon wali kota. Tak kepalang, jika sebuah survei di Solo menyebut dua putra Presiden Joko Widodo, yakni Gibran dan Kaesang dijagokan menjadi calon Wali Kota Solo dalam Pilkada Serempak 2020.
Bahkan menantu Jokowi, Bobby Nasution juga disebut-sebut kemungkinannnya menjadi calon Wali Kota Medan. Masih ada putri Wapres terpilih Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah menjadi calon Wali Kota Tangerang Selatan. Malah istri mantan Cawapres Sandiaga Uno, Nur Asia juga diwacanakan menjadi calon Wali Kota Tangerang Selatan
Sebetulnya sah-sah saja. Menjadi calon wali kota adalah hak setiap warga negara. Siapapun boleh memilih dan dipilih, sesuai konstitusi UUD 1945.
Yang menarik, bukan keluarga orang penting itu yang berkeinginan agar mereka menjadi calon wali kota.. Bukan pula merupakan kehendak dari, baik Jokowi, Ma’ruf Amin maupun Sandiaga Uno. Tetapi karena diwacanakan oleh pihak, atau orang lain.
Saya kira, fenomena ini bukanlah merupakan politik dinasti. Yakni, sebuah ambisi politik yang mengendaki jabatan politik terwariskan kepada anggota keluarganya.
Tapi mengapa muncul fenomena itu? Saya berharap mudah-mudahan tidak karena masyarakat menghendaki sesuatu yang baru. Sedikit rada heboh dan sensasional. Atau, waton suloyo, bak kata orang Jawa. Maklum, melibatkan nama-nama orang penting.
Sebab, jika itu yang terjadi, jadilah sang kandidat tidak dilihat publik karena dirinya sendiri. Melainkan karena cantolannya kepada nama-nama besar. Meskipun dalam sejarah, kita pun mengenal clan keluarga Bush, Kennedy, Gandhi, Benazir Butho, bahkan Bung Karno dalam peta perpolitikan.
Apakah kelak “nama-nama” yang dekat dengan para pemimpin itu benar-benar akan maju dalam pencalonan, kita harus bersabar menunggu. Atau jangan-jangan hanya sekadar karena isu politik Pilkada yang sudah rutin dan rada menjemukan, lalu kemudian berlalu ditelan waktu.
Haruslah disadari bahwa menjadi wali kota akan memimpin sebuah daerah selama 5 tahun. Di tangan seorang walikota lah, maju mundurnya sebuah daerah.
Saya kira, terlalu berisiko jika rakyat memilih seorang pemimpin semata-mata karena eksperimen politik. Menjadi walikota bukanlah upaya coba-coba. Melainkan sebuah tanggung jawab untuk mengemban amanah publik.
Seperti pernah saya tulis, rakyat harus dikagetkan, bahwa ada sesuatu yang baru dari sang pemimpin. Sejenis shock of the new. Bukan cuma kalimat bernada gombal, bahwa “jika saya menjadi pemimpin, makabiaya pendidikan dan kesehatan akan gratis.”
Jika shock of the new itu tidak ada, maka rakyat kembali bagai menonton film Hindustan, atau Hollywood. Oh, ini idola saya, dan seperti galibnya budaya massa, maka tokoh idola pun silih ganti sesuai selera pasar.
Ibaratnya, pada suatu musim, penyanyi dangdut si Anu lah yang dielu-elukan. Tapi tidak mungkin terus menerus. Apa yang dianggap baru, lama-lama membosankan, sehingga dibutuhkan munculnya penyanyi baru yang sesuai selera pasar.