Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina tambah panas. Kini negeri tirai bambu memulai perang mata uang antara yuan dan dolar AS.
Mengutip CNN, Selasa (6/8/2019), Cina kelihatannya baru saja melepaskan tembakan pembuka perang mata uang dengan AS, di mana untuk pertama kalinya dalam satu dekade lebih, yuan dibiarkan melemah cukup signifikan terhadap dolar AS pada Senin waktu setempat. Kali pertama dalam satu dekade terakhir, mata uang Cina berada di titik terendahnya di 7 yuan per dolar AS.
Bank sentral Cina menyatakan langkah itu sebagian besar mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap proteksionisme perdagangan dan tarif baru di Cina oleh Presiden AS Donald Trump.
Dengan membiarkan yuan bergerak lebih rendah, Cina siap untuk menggunakan mata uangnya sebagai senjata dalam perang dagang dengan AS.
Depresiasi mata uang dapat membantu Cina mengurangi dampak tarif baru AS dengan menjaga ekspornya terjangkau di negeri Paman Sam. Tetapi devaluasi dapat menyebabkan dampak negatif di dalam negerinya. Penurunan nilai yuan juga bisa memicu arus modal keluar dari Cina dan merusak stabilitas ekonomi.
"Perdebatan tentang intervensi (mata uang) AS akan memanas secara signifikan," kata Kit Juckes, Ahli Strategi di Societe Generale.
Trump dengan cepat menunjukkan bahwa dia tidak tinggal diam. Di Twitter, dia menyebut devaluasi sebagai pelanggaran besar. Meskipun ada bukti yang bertentangan dalam beberapa tahun terakhir, Trump terus mengeluh bahwa Cina mendevaluasi mata uangnya untuk membuat negaranya lebih kompetitif.
"Saya tidak mengatakan saya tidak akan melakukan sesuatu," kata Trump kepada wartawan.
Untuk membuat dolar AS melemah, pemerintahan Trump secara resmi bisa saja mengumumkan berakhirnya kebijakan dolar AS yang kuat, seperti diperkenalkan pada 1995 di bawah mantan Presiden Bill Clinton.
Trump juga dapat mengarahkan Departemen Keuangan untuk bekerja dengan Federal Reserve Bank untuk menjual dolar AS dalam upaya menurunkan nilai mata uang tersebut.
Tapi yang perlu dicatat, mata uang yang lebih lemah dapat meningkatkan ekspor, tetapi juga membuat impor lebih mahal. Ini dapat menyebabkan inflasi dan menurunkan konsumsi. Harga yang lebih tinggi dapat memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga dan memukul pertumbuhan ekonomi.(dtf)