Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya mencoba berpikir out of the box. Bagaimana sekiranya posisi Ketua DPR diserahkan kepada politikus yang berasal dari Gerindra? Bukan kepada PDIP sebagai pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 yang meraih 19,33% suara sah.
Wacana itu terasa melawan arus. Apalagi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), telah menegaskan bahwa ketua DPR RI berasal dari partai politik (parpol) pemenang Pemilu 2019.
Tapi mengingat fungsi DPR sebagai check and balances terhadap pemerintah, akan semakin klop jika jabatan ketua DPR diserahkan kepada partai oposisi. Gerindra pun menempati urutan kedua dalam daftar partai pemenang Pileg 2019 dengan meraih 12,57% suara sah. Meskipun sebenarnya, pimpinan DPR bersifat kolektif kolegial.
He-he, saya kira jika wacana itu diperdengarkan, maka gedung DPR RI di Senayan akan geger. Pasti banyak yang menolak. Apalagi hal itu sudah jslas diatur dalam UU MD3.
Bahkan, jika ada wacana yang meminta agar Ketua MPR RI pun dijabat oleh politikus dari PPP, rasanya akan ditepiskan. Masih ada 5 parpol yang perolehan suaranya dalam Pileg di atas PPP.
Sebetulnya, kemungkinan itu terbuka mengingat pemilihan Ketua MPR didasarkan pada paket pimpinan. Dilaksanakan pula secara musyawarah, baik oleh partai-partai koalisi pemerintahan maupun yang nonkoalisi pemerintahan.
Namun yang muncul ke permukaan adalah manuver dari PKB dan Golkar yang menghendaki jabatan Ketua MPR tersebut.
Demikianlah, fenomena gairah untuk meraih kekuasan telah menjadi informasi publik hari-hari ini. Tak terkecuali mengincar-incar jabatan menteri pun muncul secara terbuka. Ada parpol yang mengusulkan 10 kadernya. Ada pula yang meminta kader partainya yang terbanyak menjadi menteri.
Sebenarnya sah-sah saja jika parpol mengusulkan agar kadernya menjadi menteri. Toh, pada akhirnya yang menentukan adalah hak prerogatif presiden. Parpol tidak mungkin mendikte presiden.
Saya beharap, mudah-mudahan kegairahan meraih kekuasaan itu tidak sampai melupakan masih banyaknya masalah bangsa dan negara yang belum selesai.
Tengoklah, kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Defisit neraca perdagangan menganga. Industrialisasi dalam negeri tidak kompetitif. Kredit perbankan masih dua digit. Kebakaran hutan mengancam. Karusakan lingkungan ditandai dengan banjir di mana-mana. Peredaran narkoba sudah dalam tahap darurat. Korupsi dan suap pun masih merajalela. Dan lain sebagainya.
Ah, saya teringat sebait sajak “Karawang Bekasi” karya Chairil Anwar. “Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa....” Sajak itu ditulis pada 1948, tapi gemanya masih terdengar hingga sekarang.