Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Seorang kawan nyeletuk. “Inilah dilemma demokrasi,” katanya, saat ngobrol di sebuah kafe. “Lihatlah, penghuni baru gedung DPR di Senayan dan DPRD di daerah, nyaris sekitar 50 hingga 65% orang baru,” katanya. Nama-nama terkenal tersingkir, digantikan new comer.
Maklum, sudah lama keterpilihan seorang anggota DPR-DPRD ditentukan berdasarkan suara terbanyak yang demokratis. Bukan daftar nomor urut yang diajukan partai politik.
Aneh kawan saya ini. Padahal, keterpilihan berdasarkan nomor urut, kadang bisa tidak demokratis. Konon, terbetik cerita bahwa nomor urut “jidat” dan “dagu” untuk menyebut nomor satu-dua dan tiga bisa juga “dibeli.” Atau karena kedekatan dengan ketua umum dan pengurus partai, koncoisme dan sebagainya.
Kawanku itu membayangkan bahwa wajah baru di parlemen itu sebagai tidak sebermutu anggota lama. Ia khawatir kalau-kalau tak bisa mengemban fungsi parlemen, hak bujet, legislasi dan sosial kontrol. “Parlemen bukan tempat belajar, mereka harus ready for use,” katanya, berapi-api.
Ah, kawan ini under estimate kepada wajah baru. Padahal, apa sih prestasi wajah-wajah lama itu?
Jangan-jangan, mereka pun tak dikenal di daerah pemilihannya, sehingga masyarakat tidak memilih mereka. Rakyat boleh jadi tak mengingat nama mereka, karena tak ada yang dilakukannya selama lima tahun ini.
Memang debatable. Mungkin juga para tokoh lama itu merasa percaya diri dan ogah menebar uang agar warga mau memilihnya. Tak berarti yang berhasil terpilih lagi karena ia menebar uang, meskipun kemungkinan itu tidak tertutup.
Ada satu lagi faktor utama. Para pemilih mungkin, punya kesan terhadap anggota DPRD dan DPR lama, karena “mereka suka korupsi.” Tidak generalisasi. Tapi secara sosiologis, kesan buruk dari sebuah kelompok, walau segelintir, tapi seakan-akan menggambarkan komunitas yang diwakilinya.
Tak hendak menggurui, namun Anda akan sukses jika berbenah secara total. Sebetulnya menjadi wakil rakyat tak perlu seahli para pakar, entah di bidang keuangan, politik, sosial dan sebagainya. Inti dari demokrasi adalah seluruh program pemerintah, termasuk APBD dan APBN, harus terinspirasi oleh kepentingan rakyat.
Adapun untuk hal-hal teknis, seperti pemahaman mengenai bujet dan legislasi, tinggal membentuk tim asistensi ahli untuk DPRD-DPR. Inilah yang menjadi mitra internal wakil rakyat sebelum berhadapan dengan pihak eksekutif dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Semoga tidak ada lagi wakil rakyat yang “mengurus proyek” ini itu yang bujetnya berasal dari APBD dan APBN. Tak ada lagi yang menggolkan jabatan seseorang dengan menerima suap atau gratifikasi.
Ah, kawanku tadi telah pergi. Cangkir kopiku nyaris kosong. Kupesan segelas jus, lalu mengeluarkan laptop, dan mulai menulis perbincangan kami.