Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Amerika Serikat (AS) dan Cina saat ini masih mengalami ketegangan di sektor dagang mereka. Hal ini dimulai dari AS yang meminta perusahaan asal AS untuk hengkang dan pindah operasional dari Cina, kemudian Cina membalas dengan memberlakukan tarif impor untuk sejumlah barang AS yang masuk ke Cina.
Kondisi ini disebut turut mempengaruhi pergerakan nilai tukar di beberapa negara. Termasuk Indonesia yang mengalami tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti menjelaskan pergerakan nilai tukar ini tak hanya terjadi di Indonesia.
"Semua negara mengalami hal yang sama, karena perang dagang antara AS dan Cina akhirnya kita lebih mendorong terjadinya depresiasi di yuan," kata Destry dalam acara UOB Economic Outlook di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Dia mengungkapkan, Yuan merupakan salah satu simbol dari negara emerging market. Sehingga depresiasi Yuan ini akan mendorong mata uang negara berkembang lainnya terdepresiasi.
Destry menambahkan, dalam hal ini adalah peran BI bagaimana menjaga pasar agar tetap sesuai dengan ekspektasi. "Inikan masalah confidence ya, kita harus bisa menunjukkan pada masyarakat bahwa ekonomi domestik kita so far oke, terjaga, kita masih ada pertumbuhan, inflasi kita terjaga dan fiskal juga prudent," jelas dia.
Menurut Destry sejumlah langkah BI misalnya dengan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) menjadi kekuatan untuk meredam volatilitas yang terjadi pada rupiah.
"Kalau dilihat memang tentunya kita tidak berharap, wah rupiah bisa langsung menguat di bawah 14.000, itu juga akan sulit karena memang kondisi ekonomi globalnya seperti itu dan at leastkita bergerak sama dengan negara-negara lain dengan volatilitas yang lebih terjaga," imbuh dia.(dtf)