Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kebanggaan kita sebagai “orang Medan” mungkin agak meredup. Perasaan itu barangkali menyergap banyak warga kota ketika mendengar Wali Kota Medan Dzulmi Eldin terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dalam kasus dugaan suap yang dilakukan oleh KPK, Selasa malam (15/10/2019).
Cerita ini, sudah untuk ketiga kalinya. Diawali oleh Wali Kota Medan, Abdillah, kemudian disusul oleh Rahudman Harahap, semasih dia menjadi Sekda Tapanuli Selatan.
Padahal ketiga tokoh tersebut dengan segenap sisi plus minusnya terpilih dalam Pilkada Kota Medan yang demokratis. Toh, sebagai sesama manusia kita prihatin. Semoga pak Eldin, kuat menghadapi kisah ini.
Namun perasan skeptis kita semakin mengental, apalagi menjelang Pilkada Kota Medan pada September 2020. Apakah wali kota terpilih kelak akan terjerumus ke “lubang” yang sama?
Perasaan yang menghantui tersebut tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Harus dibangkitkan kesadaran masyarakat untuk memilih yang terbaik.
Jangan terpesona dengan statemen yang berapi-api dan mengklaim antikorupsi dan antimoney politics. Tengoklah juga gaya hidupnya apakah menunjukkan tanda-tanda atau berpotensi melakukan korupsi, atau tidak?
Jika dia gemar atau boros meneraktir kolega atau kenalan, adalah gejala yang harus dicermati.
Kepribadiannya pun perlu ditilik. Apakah dia tipe yang suka melayani, atau dilayani? Misalnya, ada yang membawa tasnya, atau membuka pintu mobilnya. Sebab, menjadi Wali Kota itu melayani, bukan dilayani.
Pemilih harus hati-hati. Lihat juga gaya busana dan aksesorisnya. Wajar wajar saja, atau berlebihankah?
Tapi tidak boleh berburuk sangka. Meskipun gaya hidupnya burjuis, tapi cara berpikirnya tidak burjuis, tidak kapitalistis, no problem.
Hidup boleh burjuis, tapi berjiwa dermawan dan berempati kepada puak miskin. Dia tidak pamer, tidak memburu pencitraan agar masuk koran, adalah suatu pengecualian.
Masyarakat jangan terpesona melihat penampilannya di depan publik . Apalagi saat berkampanye, atau konferensi pers. Telusuri juga track record di masa lalu.
Lirik juga kehidupan keluarganya, hedonis atau wajar-wajar saja. Latar belakang ini juga bisa menjadi petunjuk perilaku, meski tidak absolut. Semogga kelak para wartawan mau melakukan investigative reporting.
Kita berharap, cukuplah tiga cerita muram saja yang menerpa kota ini. Jangan ada lagi yang keempat.