Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ibuku ingin aku jadi dokter gigi.
Biar banyak pasien penghasilanpun tinggi .
Bapak inginku jadi priayi berdasi
Dapat tempat basah juga cari posisi .
Entah aku nanti jadi apa.?
Entah aku jadi apa saja (terserah)
Asal. kecil bersuka dan muda terkenal.
Tua kaya raya mati masuk surga .
SAYA kerap terharu mendengar lagu Slank yang berjudul "Entah Jadi Apa." Tapi lirik lagu Slank itu juga terasa menyindir. Pagi-pagi saat berangkat ke sekolah, murid-murid sudah “didera” oleh suasana keras dalam angkutan kota yang penuh sesak dan tak manusiawi. Belum lagi, murid di desa terpencil harus berjalan kaki di lereng bukit dan menyeberangi sungai.
Saat mulai belajar saja, sang "pahlawan tanpa tanda jasa" itu sudah rada mengantuk dan mungkin datang terlambat karena mereka juga terselempit di dalam bus kota yang penuh sesak menuju sekolah.
Bus kota bisa dalam makna harfiah tetapi bisa juga metafora yang mengandaikan dunia pendidikan kita belum segemerlap BUMN yang “basah.” Tapi Indonesia pun bukan cuma kota-kota besar. Tak sedikit juga desa pedalaman.
Kadang kita miris karena murid yang belajar sejak Senin hingga Sabtu. Belajar enam hari seminggu. Mengapa tak belajar cukup 4,5 hari dalam sepekan? Jumat belajar setengah hari, dan Sabtu libur saja? Tapi jam belajar dimulai jam 07.00 pagi yang intens.
Libur sekolah juga belum konseptual. Libur selalu berlalu dengan percuma. Apalagi jika hanya diisi dengan main game atau cuitan di media sosial. Liburan adalah suatu masa bagi siswa dan mahasiswa untuk belajar di dalam keluarga dan masyarakat.
Saya berimajinasi, usai libur mereka diwajibkan menulis apa yang disaksikan di masyarakat. Apa tanggapan dan kesan mereka?
Mengenali masyarakat itu penting bagi siswa dan mahasiswa untuk mengkonformasi dengan pelajaran di sekolah dan kampus. Jika mereka kelak masuk ke pasar kerja, mereka tak lagi gagap terjun ke tengah masyarakat.
Barangkali, mengenali masyarakat dan pasar kerja lebih konseptual jika masuk kurikulum.
Ironisnya, sistem pendidikan kita seakan-akan mengandaikan semua siswa menjadi S1, S2, S3 dan professor. Padahal talenta mereka beda, ada yang di jalur akademik atau hanya kemahiran. Mestinya, sejak SD sudah dilihat ke jalur mana kecenderungan murid yang potensial.
Saat di sekolah menengah pertama, mestinya sang anak sudah difasilitasi untuk memilih jalur akademik atau keterampilan. Pendidikan tidak lagi mencetak siswa dan mahasiswa secara massif bagaikan produk pabrik. Tapi mempersiapkan SDM, sehingga kelak siap pakai di masyarakat.
Syahdan, pakar pendidikan Rodriguez dan Badaczewski berkata, "Anda boleh membawa kuda ke dalam sungai. Tetapi Anda tak bisa memaksa kuda minum air." Sangat demokratis.
Siswa dan mahasiswa semestinya menjadi subjek, bukan objek. Merekalah yang memberi makna terhadap pelajaran yang mereka terima sehingga menjadi knowledge inklusif, dengan tafsir yang tidak tunggal.
Menghujani mereka dengan informasi kognitif (potensi intelektual) dengan buku-buku teks, kerap tidak sesuai dengan kebutuhan psikologis. Mereka menjadi penghafal pelbagai teori, tapi tidak memahami wujudnya di tengah-tengah masyarakat.
Mereka bisa saja tahu banyak hal tapi tanpa kecerdasaan emosi. Alhasil, ilmunya tidak aplikatif, sehingga akan terus terbius lagu Slank dengan perasaan sayu yang ilusif. **