Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kejengkelan Presiden Jokowi tampaknya sudah sampai di “ubun-ubun.” "Puluhan ribu-ratusan ribu cangkul yang dibutuhkan masih impor. Apakah negara kita yang sebesar ini industrinya yang sudah berkembang, benar cangkul harus impor. Enak banget itu negara yang barangnya kita impor," tutur Jokowi dalam Pembukaan Rakornas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 2019, di JCC, Rabu (6/11/2019.
Maklum, RI masih mencatat defisit transaksi berjalan. Berdasarkan data Bank Indonesia, current account deficit/CAD per kuartal II 2019 mencapai US$8,4 miliar atau 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ini membengkak 21% dibandingkan kuartal I 2019 sebesar US$6,97 miliar.
Jokowi juga mengeluhkan defisit neraca perdagangan RI – lebih banyak impor dari ekspor -- senilai US$160 juta per September 2019. Padahal Agustus 2019 surplus US$80 juta.
"Kok kita masih hobi impor, ya kebangetan banget. Uang pemerintah lagi. Kebangetan banget," ujar Jokowi.
Padahal sekiranya cangkul itu diproduksi dalam negeri akan membuka lapangan pekerjaan.
Tak heran jika Jokowi meminta untuk memprioritaskan produk lokal. “Setop lah (impor). Ini duit APBN, APBD. Prioritaskan benar bahwa harga murah bukan patokan utama. Murah tapi impor, saya lebih senang beli barang lokal, meski harganya sedikit lebih mahal," imbuh Jokowi.
Eh, ternyata Indonesia yang 2/3 terdiri dari lautan juga masih mengimpor garam. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa realisasi impor garam industri per Oktober 2019 sebanyak 2,21 juta ton dari total kuota 2,7 juta ton. Artinya, pengusaha masih dapat mengimpor sekitar 400 ribu ton.
Tragisnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo mengakui Indonesia masih sulit melepaskan diri dari jerat impor garam sampai saat ini. Soalnya, pasokan garam tak cukup memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Dari sisi kuantitas, ketersediaan garam nasional tak sampai setengah dari total kebutuhan industri nasional. Menurut Edhy kepada wartawan, Selasa (5/11/2019), impor baru bisa dihentikan jika ketersediaan garam sudah sesuai dengan kebutuhan industri.
Namun KKP masih sedang menyusun rencana untuk membuat data yang pasti mengenai jumlah kebutuhan garam nasional. Dengan demikian, angkanya bisa disesuaikan dengan produksi di tingkat petani.
Apakah selama ini KKP belum punya data? He-he, kebangetan banget. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah tindakan nyata. Genjot produksi garam, dan setop impor.