Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ibu, Mama, Mami, Emak, Bunda, atau apa pun kata yang digunakan manusia untuk memanggil siapa yang melahirkannnya. Tepat tanggal 22 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Ibu Nasional, sebagai bentuk penghargaan kepada setiap ibu yang berjuang dan berkorban untuk melahirkan, membesarkan, mendidik generasi penerus bangsa. Sosok yang dapat membangkitkan semangat anak-anaknya yang sedang merantau jauh dan mampu menguras air mata bagi mereka yang sudah tidak memilikinya lagi.
Sosok ibu sangat erat hubungannya dengan perempuan. Seperti pada pelaksanaan Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-91 tahun 2019, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam sambutannya mengatakan bahwa PHI mengingatkan kita tentang perjuangan kaum perempuan Indonesia dalam mewujudkan persamaan peran dan kedudukannya dengan kaum laki-laki, karena keduanya merupakan sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan pembangunan. Sehingga tahun ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengangkat tema pada Peringatan Hari Ibu, yakni "Perempuan Berdaya Indonesia Maju. Ada makna mendalam sebagaimana perempuan memiliki peran dalam memajukan Indonesia.
Sosok ibu mewakili seluruh perempuan. Perempuan yang masih dianggap kelak akan menjadi ibu rumah tangga, dapur adalah tempat dia bekerja, dan sifat lemahnya jadi titik diskriminasi dalam negeri ini. Anggapan itu jauh-jauh dibuang dan diubah seiring dengan banyaknya aktivis perempuan yang memperjuangkan haknya sebagai masyarakat yang sama dengan laki-laki. Seperti tema tahun ini, mewakili suara seluruh perempuan yang masih berjuang. Hampir setengah penduduk Indonesia adalah perempuan.
Berdasarkan data proyeksi Badan Pusat Statistik, tahun 2018 sebesar 131,48 juta jiwa adalah perempuan. Melihat fakta tersebut, peran perempuan menjadi modal pembangunan sangat potensial tetapi kenyataannya perannya masih belum maksimal.
Sebagai refleksi pada Hari Ibu kali ini, potret peran perempuan dan pembangunan terhadap perempuan dapat dilihat dari data yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan jadi langkah yang tepat dalam memilih kebijakan properempuan.
Ketertinggalan perempuan dalam beberapa aspek menunjukkan bahwa peran perempuan belum optimal. Pemberdayaan peran perempuan dalam hal pekerjaan, pendidikan dan bidang lainnya masih sangat minim. Hal ini dikarenakan kualitas perempuan relatif masih rendah dibanding laki-laki.
Di Indonesia, peran perempuan dalam pengambilan keputusan dapat terlihat dari persentase anggota parlemen perempuan. Berdasarkan peraturan yang dimuat dalam Undang-Undang No 2 tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Sayangnya, tahun 2018 masih 17,3% perempuan yang ada di parlemen. Padahal, perempuan sebagai pengambil keputusan juga memiliki warna terutama dalam memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang properempuan.
Dalam bidang pendidikan, perempuan juga masih tertinggal. Pada tahun 2018, rata-rata lama sekolah perempuan selalu berada di bawah capaian laki-laki.Pada tahun 2018, secara rata-rata laki-laki sudah mampu mengenyam pendidikan selama 8,62 tahun atau hingga kelas 8 sekolah menengah, sedangkan perempuan berada satu tahun dibawahnya sebesar 7,72 tahun. Rata-rata lama sekolah menggambarkan capaian dalam hal pendidikan penduduk dengan umur 25 tahun ke atas yang diasumsikan telah menyelesaikan fase bersekolah.
Selain itu, peran perempuan dalam ekonomi dapat dilihat dari tingkat pengeluaran per kapita. Berdasarkan pada data BPS pada tahun 2018, pengeluaran per kapita perempuan hanya sekitar 9,04 juta, angka ini masih sangat jauh dibandingkan pengeluaran per kapita laki-laki yang sudah berada di angka 15 juta. Salah satu penyebab lebarnya kesenjangan pengeluaran perkapita antara laki-laki dan perempuan adalah share perempuan yang relatif rendah pada beberapa lapangan usaha dengan produktivitasnya tinggi.
Perempuan di Indonesia cenderung bekerja di sektor jasa.Kontribusi perempuan dalam pasar tenaga kerja juga masih minim. Dapat dilihat dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2019 mencatat bahwa sekitar 61,47% penduduk yang bekerja adalah laki-laki, sisanya adalah perempuan.
Perbedaan yang cukup tinggi pada pengeluaran perkapita antara laki-laki dan perempuan selama ini, secara langsung disebabkan oleh perbedaan pendapatan yang diterima. Pekerja laki-laki secara rata-rata menerima Rp 2,84 juta perbulan, terpaut cukup jauh jika dibandingkan dengan pekerja perempuan yang hanya menerima Rp 2,23 juta perbulan pada Agustus 2019. Diskriminasi gender dalam pasar tenaga kerja serta kurangnya pendidikan dan kompetensi yang dimiliki perempuan berkontribusi dalam masalah ini.
Diperlukan usaha serta kebijakan di berbagai aspek baik ekonomi maupun nonekonomi, seperti peningkatan kualitas SDM perempuan dari sisi pendidikan dan keterampilan untuk perlahan mengurangi masalah disparitas ekonomi yang terjadi. Kesenjangan-kesenjangan yang diterima oleh perempuan dapat berdampak pada dimensi lain, yaitu kemiskinan. Faktanya, ada 9,63% perempuan di Indonesia yang berstatus miskin dan persentasenya lebih tinggi dibanding laki-laki yang hanya 9,18 persen berdasarkan data Maret 2019.
Angka-angka tersebut memberikan gambaran bahwa perjuangan terhadap perempuan masih belum berakhir. Menurut Muhammad Arif Fahrudin Alfana dalam bukunya Dinamina Pembangunan Manusia Berbasis Gender di Indonesia, peran sumber daya manusia (SDM) perempuan yang berkualitas paling tidak memiliki dampak pada dua hal. Pertama, dengan kualitas yang dimiliki, perempuan akan menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Kedua, perempuan yang berkualitas turut mempengaruhi kualtias generasi penerus, mengingat fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan sumber daya di masa datang.
Peran perempuan dapat menentukan arah pembangunan negara kita menuju Indonesia Maju. Perempuan sebagai sosok Ibu, mengemban tugas yang sangat berat. Menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, siap pakai dan berdaya saing tinggi.
Apa jadinya Indonesia jika sosok ibu yang mewakili perempuan dengan pendidikan rendah, akan berdampak pada dunia literasi dan matematis si generasi penerus yang dilahirkannya? Apa jadinya Indonesia, jika sosok ibu hanya sebagai perempuan dengan materi yang serba cukup, cukup untuk makan sehari-hari, memikirkan kebutuhan pembangkit daya guna si generasi penerus yang dilahirkannya saja tidak mampu dicukupi? Apa jadinya Indonesia, jika sosok ibu hanya sebagai perempuan dengan diam, tak mampu bersuara, memperjuangkan nasib si generasi penerusnya?
Nasib negeri ini bergantung pada sosok perempuan yang dipanggil Ibu, Mama, Mami, Emak, Bunda, atau apa pun kata yang digunakan manusia untuk memanggil siapa yang melahirkannnya. Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2019!
===
*Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik Kota Medan
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan identitas atau biodata diri singkat (dalam satu-dua kalimat untuk dicantumkan ketika tulisan tersebut dimuat). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Kirimkan tulisan dan foto (minimal 700 pixel) Anda ke email: [email protected].