Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sesekali ada eloknya melongok masa silam. Sepahit apapun, setidaknya kita mengenali mengapa masa sulit itu terjadi. Semakin mudah pula menghindari dan menanggulanginya.
Ah, tak saya lupakan harus mencicipi nasi campur ubi. Kadang, campur jagung. Lauk pauknya ikan asin. Padahal ayah saya seorang pegawai negeri.
Kala itu, 1965, saya masih kelas I SMA di Sibolga. Kemudian, G30S meletus pada 30 September 1965..
Setelah dewasa, barulah saya tahu bahwa sejak Desember 1964, situasi ekonomi sudah parah. Kurs rupiah pada Desember 1964 sudah Rp4.700 per US$. Padahal, masih Rp1.900 setahun sebelumnya.
Rupiah terus terkapar. Eh, September 1965 sudah Rp12.000, Oktober Rp14.500, November Rp28.000, dan Desember Rp 35.000 per US$. Di sela-sela hiruk-pikuk politik pasca G30S, harga bahan pokok melambung. Inflasi mencapai 650%.
Saya ingat disuruh ibu harus antri membeli beras, minyak, gula, dan kebutuhan lainnya. Pakai kupon dengan pembelian terbatas. Tidak sedikit pula orang yang kelaparan.
Wah, defisit APBN mencapai 200%. Peneriman APBN Rp 151 juta, tapi belanja Rp 359 juta.
Keadaan kian parah karena pemerintah pada 13 Desember 1965 “menggunting” uang tukaran Rp 1000 menjadi Rp 1. Tapi nyatanya nilai tukar uang baru hanya 10 kali lipat, bukan 1000 kali lipat. Inflasi kian mencekik.
Sesungguhnya, krisis ekonomi itu sudah berawal sejak 1960. Ekonomi Indonesia hancur karena utang dan inflasi. Soekarno mewariskan utang senilai US$ 6,3 miliar kepada rezim Orde Baru. Pendapatan devisa dari sektor perkebunan jatuh dari US$ 442 juta pada 1958 ke US$ 330 juta pada 1966.
Pemerintah gemar mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek “mercusuar” seperti pembangunan Monas, Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Sarinah, Jembatan Semanggi dan sebagainya. Padahal pemerintah lagi bokek.
Soekarno pun ambisius menandingi Olimpiade dengan event GANEFO (Games of the New Emerging Forces) pada 10-22 November 1963 di Jakarta. Diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, dengan biaya tak kepalang.
Indonesia keluar dari PBB pada Januari 1965. Bahkan, pada Agustus 1965, menarik diri dari Dana Moneter Internasional/IMF dan Bank Dunia. Bantuan asing pun setop. Belum lagi biaya besar karena konfrontasi dengan Malaysia sejak 1962-1966. Padahal pemberontakan PRRI dan Permesta baru saja pulih pada 1961.
Ah, sekarang sudah 2020. Semoga kenangan pahit itu tak lagi terulang.