Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Kabar dari dunia netizen cukup menggelitik, hari Rabu (15/1/2020). Beredar pesan WA yang diduga dari salah seorang tokoh LSI Denny JA, yang berisi permintaannya untuk menjadi komisaris Inalum. Pesan itu ditujukan kepada Luhut.
Pesan itu dimulai dari kalimat "Komandan, Pak Luhut yang baik, semoga tahun baru membawa berkah baru. Follow up yang sudah kita diskusikan tempo hari. Masih adakah kemungkinan dan kabar soal kemungkinan saya menjadi komisaris di Inalum....."
Pesan ini pertama kali diposting akun Saut Situmorang, Rabu (15/1/2020). Saat dikonfirmasi medanbisnisdaily.com kepada pemilik akun, Saut tidak menjawab jelas. Hanya gambar yang karikatur yang ia kirimkan.
Tambahan informasi, Saut dan Denny JA pernah berselisih perihal buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" yang disponsori Denny JA. Dalam buku itu termuat nama Denny, yang menurut Saut tidak tepat, mengingat Denny tidak dikenal dalam dunia sastra Indonesia dan lebih dikenal sebagai tokoh Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
Klarifikasi Denny JA
Denny JA kemudian membuat klarifikasi soal isu 'minta jabatan' ini dalam bentuk cerita pendek (cerpen) di fanpage Facebooknya. detikcom sudah meminta izin untuk mengutip klarifikasi ini kepada Peneliti LSI Adjie Al Faraby dan diperbolehkan.
Dalam klarifikasinya, Denny JA menyebut pesan itu sebagai gosip yang diviralkan. "Pastilah sebagian masyarakat ini kehilangan isu besar. Gosip pun dijadikan isu. Tanpa cek and rechek lagi, gosip itu diforward kemana- mana. Dan viral pula," ujar Denny JA dalam klarifikasinya, Rabu (15/1/2020).
Denny JA juga sempat menyinggung isu lama yang juga pernah menerpanya pada Pilpres 2019. Yakni soal isu yang menyebut dirinya dibayar 45 miliar oleh Jokowi agar bisa mengalahkan Prabowo Subianto.
Berikut ini isi klarifikasi lengkapnya:
KETIKA GOSIP KOMISARIS BUMN PUN DIJADIKAN ISU
Klarifikasi Denny JA Dalam Bentuk Cerpen
"Pastilah sebagian masyarakat ini kehilangan isu besar. Gosip pun dijadikan isu. Tanpa cek and rechek lagi, gosip itu diforward kemana- mana. Dan viral pula."
Itulah responnya yang pertama ketika membaca teks di WA. Dengan senyum, sambil menyerumput kopi, ia baca sekali lagi pesan beruntun di ponselnya.
Diberitakan, WAnya ke salah satu mentri bocor. Ia menawarkan diri menjadi komisaris salah satu BUMN. Entah apa yang salah? Atau apa yang penting dari soal itu hingga dijadikan isu yang viral?
Dalam hidupnya sebagai aktivis, tak sekali ia menerima gosip itu. Sebelumnya di era Pilpres 2019, ia dikabarkan menerima uang dari Jokowi sebesar 45 Milyar rupiah untuk memenangkan Jokowi mengalahkan Prabowo.
Waktu itu, Ia santai saja menjawab. "Itu fitnah karena angka 45 Milyar kok kecil sekali. Padahal saya TIDAK sedang banting harga."
Sebagai konsultan politik yang ikut memenangkan presiden tiga kali berturut- turut (kini empat kali), apa
Iya saya dibayar hanya 45 milyar?" Celotehan santai darinya saat itu terasa pas. Agaknya lebih efektif merespon gosip politik dengan celotehan saja.
Apa daya. Ia tumbuh sebagai aktivis. Berdebat di publik menjadi nafasnya. Berdebat dengan data, angka dan hasil riset memang hobinya. Tapi berceloteh pun oke juga.
Sejak lama, Ia memang rindu. Ia berharap ruang publik lebih diisi oleh debat gagasan. Ia ingin para elit heboh oleh inovasi. Ia angankan kembali datang era berpolitik gaya Founding Fathers yang pejuang tapi juga pemikir.
Tapi yang marak dan heboh di ruang publik, acapkali hanya soal skandal tokoh, gosip dan hoax. Apa daya.
Ia teringat teks WA yang Ia terima semalam. Isi WA itu gosip tentang dirinya. Ia digambarkan seolah berkomunikasi dengan seorang menteri untuk jabatan komisaris BUMN.
Ia forward gosip itu ke beberapa, hanya untuk info. Ternyata, itu malah diforward beberapa kali oleh mereka yang senang bergosip ke aneka grup. Tanpa ada check and rechek dan mengelaborasi konteksnya dulu.
Di era media sosial, apapun mudah menjadi isu. Apalagi jika masyarakat yang kehilangan isu besar. Gosip pun menjadi isu. Lebih sensasional lebih asyik. Tak penting benar atau salah.
Ia teringat lirik lagu Michael Jackson: Beat it! beat it! No matter who is wrong or right. Just beat it!
-000-
Apa yang salah dengan seseorang yang ingin berperan ikut memajukan negaranya dengan mengajukan diri menjadi komisaris BUMN? Bukankah itu memang jabatan terbuka yang bisa diisi siapa saja yg kompeten?
Apa yang salah orang yang mengajukan diri menjadi rektor, menjadi menteri, menjadi direktur TV, menjadi bintang sinetron?
Bukankah tak ada pelanggaran hukum di sana? Tak ada skandal di sana? Bukankah semua orang pada dasarnya bagus bagus saja melakukan lobi, meyakinkan aneka pihak? Kok masalah itu saja bisa dijadikan isu dan viral?
-000-
Ia kembali minum itu kopi. Dinyalakannya Smart TV, dan masuk ke Neflix. Kembali ia lanjutkan serial docu drama tentang kisah para genius mengubah peradaban.
Kisah tentang Bill Gates, Pulitzer, Thomas Alfa Edison. Kadang mereka sedikit berkotor tangan, melobi sana dan sini untuk realisasi gagasan.
Perlukah Ia klarifikasi isu soal dirinya mengajukan diri sebagai komisaris BUMN itu? Baiklah, ujarnya. Klatifikasi saja dalam bentuk cerpen.
Dan jadilah cerpen ini.
15 Jan 2020
Tanggapan Luhut
Luhut yang disebut dalam pesan itu pun telah ditanya soal isu tersebut. Namun, dia mengaku lelah menanggapi isu tersebut.
"Ah itu aja capek nanggapin itu, yang lain," kata Luhut kepada wartawan di Kemenko Maritim, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020).
Ketika ditanya lagi terkait kebenaran pesan WhatsApp itu, Luhut justru menanggapinya dengan berkelakar.
"Kenapa sih kamu senang gitu-gituan. Mbok yang lain agak bermutu gitu. Mbok cari pertanyaan-pertanyaan, yang mau minta itu tuh sak perahu banyak gitu loh," ujar Luhut.(dtc)