Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PISA (Programme for International Student Assessment) melalui Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 2018 baru saja melakukan rilis data survei yang memberi pukulan telak bagi pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, untuk seluruh indikator yang diujikan—kemampuan membaca, kemampuan matematika dan kemampuan sains—bangsa kita memperlihatkan kemunduran. Sekadar memberi informasi, setiap tiga tahun sekali PISA melakukan tes bersifat diagnostik terhadap murid-murid berusia 15 tahun dari sekolah-sekolah yang dipilih secara acak (randomly selected).
Untuk kompetensi membaca, Indonesia memperoleh 371 poin setelah sebelumnya di tahun 2015 mencapai 397 poin. Mirisnya, pencapaian pada bidang membaca (literasi) kali ini merupakan yang terburuk sepanjang keikutsertaan Indonesia sejak tahun 2000. Di ranah matematika, jika pada tahun 2015 kita memperoleh skor 386, angka itu kini menurun menjadi 379. Pada kategori sains, di tahun 2015 Indonesia meraih 403 poin sedangkan di tahun 2018 hanya mencapai 396 poin. Parahnya lagi, pencapaian di ketiga aspek itu berada di bawah rata-rata OECD: 487 untuk membaca, 489 untuk matematika dan 489 untuk sains. Alhasil peringkat PISA Indonesia yang tadinya di posisi 62 dari 70 negara peserta melorot ke urutan ke-72 dari seluruh 77 negara peserta.
Tindak Lanjut
Sejak pemerintah memutuskan keikutsertaan Indonesia dalam PISA pada tahun 2000 lalu, sesungguhnya sejak itu pula kita telah memulai langkah awal yang tepat untuk membenahi pendidikan negeri ini. Maksudnya, setiap sistem pendidikan di negara mana pun harus memiliki benchmark (tolak ukur) untuk mengkaji dan mengevaluasi sudah sejauh mana pergerakan mutu pendidikan di negara tersebut.
Sebenarnya tanpa harus ikut dalam PISA pun, kita bisa mengkreasi sistem tes sendiri. Dan idealnya Ujian Nasional (UN) menjadi jawaban untuk itu. Tapi, tidak usah berpanjang lebar. UN selama ini selalu antitesis terhadap setiap tujuan semula, apakah digunakan sebagai penentu kelulusan atau hanya bertujuan untuk pemetaan kualitas pendidikan. Mulai dari penyelenggaraannya yang compang-camping karena marak dengan kecurangan hingga narasi mencederai keadilan karena kualitas pendidikan yang tidak merata, namun diukur lewat instrumen yang seragam, membuat UN tidak layak digunakan sebagai alat ukur kredibel.
Itulah yang saya maksudkan dengan frasa ‘langkah awal yang tepat’. Artinya, assessment dilakukan oleh lembaga independen dan sudah berskala internasional. Dengan demikian, hasilnya pun lebih objektif. Sayangnya, pemerintah sepertinya tidak pernah bersungguh-sungguh menjadikan hasil PISA sebagai acuan dan bahan evaluasi untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Misalnya begini. PISA mengukur kemampuan seorang pelajar di tiga bidang tadi melalui enam tingkatan yang diprakarasi oleh Benjamin Bloom. Tingkatan-tingkatan inilah yang kemudian dikenal dalam dunia pendidikan dengan istilah Taksonomi Bloom.
Tingkat 1 mengingat kembali apa yang sudah diajarkan, tingkat 2 menjelaskan apa yang telah dipelajari dengan bahasa sendiri, tingkat 3 menerapkan apa yang telah dipelajari untuk pemecahan masalah, tingkat 4 menguraikan permasalahan untuk diselesaikan dengan metode yang telah dipelajari, tingkat 5 menentukan kesesuaian dan keunggulan metode tertentu untuk menyelesaikan permasalahan, dan tingkat 6 berpikir abstrak dan merancang metode baru.
Secara lebih rinci, tingkat 1 hingga 3 merujuk kepada kemampuan berpikir level rendah atau yang disebut dengan Low Order Thinking Skills (LOTS). Sementara tingkat 4 sampai 6 merupakan kemampuan berpikir level tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). Selama keikutsertaan kita dalam PISA, metode pembelajaran dan ujian di sekolah-sekolah selama ini tidak mengakomodir HOTS. Tentu wajar jika pencapaian kita bertahun-tahun mengikuti survei PISA selalu terpuruk.
Memang belakangan pemerintah mulai berbenah. Soal-soal HOTS mulai dimasukkan dalam UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) sejak tahun 2018. Tapi ini tentu sudah sangat terlambat. Tercatat Indonesia sudah tujuh kali ikut dalam survei PISA (tahun 2000, 2003, 2006, 2009, 2012, 2015 dan 2018) namun mengapa baru belakangan ini kita memutuskan untuk menerapkan HOTS? Orang Inggris mengatakan “better late than never” (lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali). Tapi, penerapan HOTS ini pun belum sepenuhnya menjadi kabar baik. Sebab meski soal-soal HOTS diberlakukan dalam UNBK, pembelajaran di sekolah-sekolah masih cenderung berbasis LOTS.
Seolah sadar dengan keanehan itu, pemerintah mulai terlihat bergegas menggelar sejumlah pelatihan-pelatihan kepada guru-guru untuk mendesai pembelajaran dan merancang soal-soal ujian yang berorientasi pada HOTS. Tujuan ini sebenarnya mulia. Hanya, mari berlogika sejenak. Bagaimana mungkin pengajaran atau ujian dengan model HOTS bisa dikuasai guru-guru lewat pelatihan-pelatihan yang hanya berlangsung beberapa jam dalam waktu beberapa hari?
Sekadar memberi perbandingan, tengoklah Singapura yang grafik pencapaian PISA-nya terus meningkat. Bahkan, mereka kini berada di urutan kedua di bawah China. Kim Koh, Charlene Tan dan Pak Tee Ng dalam penelitian mereka yang berjudul “Creating thinking schools through authentic assessment: The case in Singapore. Educational Assesement, Evaluation and Accountability tahun 2012 menyebut bahwa kurikulum pendidikan di Singapura telah dikonstruksi untuk menghasilkan manusia-manusia pemikir inovatif (innovative thinkers) dan pemecah masalah (problem solvers).
Pembelajaran HOTS di Singapura bahkan sudah dimulai sejak pendidikan anak usia dini (early childhood education). Kemampuan sains dan matematika, misalnya, diperkenalkan kepada siswa lewat konsep applikatif, interaktif dan kontentekstual. Bukan melalui hafalan-hafalan rumus seperti yang jamak terjadi di sekolah-sekolah kita. Singapura bisa mencapai kemajuan seperti itu karena mendesain secara matang budaya belajar dan mengajar yang meletakkan fondasi kuat pada aspek membaca, berhitung dan literasi sains.
Sistem pendidikan yang terintegrasi seperti di Singapura itulah yang harusnya menjadi catatan penting untuk pemerintah. Kita terlamapu sering mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Ketika ada sebuah sistem baru, kebijakan yang diambil sifatnya selalu reaktif. Semuanya dilakukan tergesa-gesa. Karena tergesa-gesa, proses panjanga diabaikan sehingga kualitas pun tidak akan pernah meningkat secara signifikan.
Pembelajaran yang mengarah pada HOTS tidak bisa dicapai dengan cara-cara yang diambil akibat kebijakan reaktif dan tanpa perencanaan matang seperti sebatas pada pengadaan soal-soal HOTS di UN atau pelatihan-pelatihan jangka pendek bagi guru-guru. Kebijakan pendidikan, pematangan kurikulum untuk tujuan jangka panjang (long term goals), kualitas guru-guru, buku-buku penunjang, sarana dan prasarana pendidikan hingga para stakeholder harus terlibat secara holistik. Urusan pendidikan tidak seperti mie instan yang bisa dimasak dengan sangat cepat lalu dapat dinikmati saat itu juga.
===
Penulis adalah kolumnis lepas, guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan dosen PTS.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 4.000-5.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]