Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kedai kopi, kata orang kita. Agak modern sedikit, kafe. Kemudian, ada Starbukcs, J Co dan Coffe Bean. Ha-ha, intinya sama: tempat menyeruput kopi, yang kian sedap jika diseduh dengan gula dan susu. Hemh.
Jangan kaget jika produk kopi di Starbukcs, J Co dan Coffe Bean adalah buatan impor. Bukan merek Indonesia. Di alam ekonomi liberal, ya, sah saja. Bisa saja bahan bakunya adalah kopi Indonesia, yang diracik bersama kopi produk asing di mancanegara, atau tidak, boleh-boleh saja.
Seperti “sanak familinya” sesama komoditas, seperti CPO, karet, kakao, produksi nasional kopi memang lebih banyak diekspor. Pernah 640 ribu ton, akan menurun menjadi 600 ribu ton. Jika pada 2013, masih berproduksi 534.000 ton, pada 2015 menjadi 502.000 ton. Bahkan pada 2018 hanya 280.000 ton. Toh, baik kopi robusta dan Arabica masih menduduki peringkat empat dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia.
Namun dari jumlah itu, hampir 70% diekspor. Sisanya diolah di dalam negeri. Sentra produksi kopi kita antara lain di Lampung, Sumatera Selatan, dan Bengkulu (jenis robusta) dan untuk jenis arabica, sentra produksinya di Aceh , Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Hilirisasi kopi dengan mengolahnya di dalam negeri, belum menjadi fokus. Padahal kalau bisa menggandeng investor, maka industri kopi akan menyerap tenaga kerja dan pajak, sehingga menjadi added value bagi kita.
Pengalaman menunjukkan jika negara pengimpor mengalami resesi ekonomi, maka permintaan impor akan anjlok. Bahkan banyak pabrik kopi yang bangkrut di sana. Kita pun terpaksa harus menurunkan volume ekspor, apa boleh buat.
Jika permintaan impor melemah, otomatis harga akan menurun pula. Sudah hukum ekonomi demikian adanya, yang dengan sendirinya memukul petani di garis paling depan.
Berbeda jika kita punya pabrik barang jadi, dengan tutupnya pabrik kopi mereka di luar negeri, permintaan akan tak berkurang, hanya berfluktuasi sementara saja. Bahkan, mereka bisa sangat tergantung kepada kita.
Pendeknya jika Indonesia tetap mengandalkan ekspor bahan mentah kopi, maka kita akan tergantung kepada perkembangan perekonomian negara pengimpor, maupun naik turunnya nilai tukar mata uang antar Negara.
Wah, jika sudah begini, secangkir kopi pahit terasa semakin pahit. “Minta gula dan susunya, dong,” kata seseorang di sebuah kafe.