Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya teringat rebu, suatu pantangan dalam adat istiadat suku Karo Yakni, dilarang berbicara langsung antara mertua wanita dengan kela (menantu pria). Juga antara bengkila (mertua pria) dengan menantu wanita. Tak hanya berbicara langsung. Juga dilarang bersentuhan anggota badan. Duduk berhadap-hadapan dan duduk pada sehelai tikar/kursi.
Jika pun hendak berkomunikasi juga, maka si menantu berbicara menghadap ke dinding. Tidak kontak mata, dan sudah pasti dalam jarak yang berjauhan.
Syahdan, pantangan itu dilakukan untuk melahirkan mehangke (enggan). Lalu, dari enggan melahirkan rasa hormat. Hormat menimbulkan sopan santun. Martabat sang mertua terjaga, dan mengindari hal-hal yang tak diinginkan.
Tatacara itu juga ditemukan dalam berbagai etnik seperti Mandailing, Angkoka, Batak Toba, Dairi dan Simalungun.
Rasa-rasanya, tatacara itu semacam social distancing (menjaga jarak) juga yang kini dianjurkan untuk menghindari kemungkinan penularan virus corona.
Social distancing akan semakin efektif jika orang mengurangi bepergian, keluar rumah atau keluar kota. Memang dilematis juga bagi mereka yang mengharuskan diri keluar rumah. Misalnya, bagi pedagang di pasar dan plasa, buruh pabrik, sopir angkot dan sebagainya.
Bagaimana pula kaum ibu yang berbelanja di pasar atau plasa ketika berpapasan atau sama-sama membeli di sebuah lapak, kios atau gerai. Bagaimana penumpang angkot harus duduk berjauhan, sementara sopir angkot ingin penumpang penuh sehingga harus duduk berdekatan.
Kelihatannya diperlukan kreatifitas atau menemukan tatacara yang tetap menjaga jarak, namun aktifitas tetap berjalan. Sopir angkot misalnya tetap melaju walau pun penumpang belum penuh.
Dengan kata lain, pengorbanan diperlukan demi tujuan penting: memutus penularan corona, antara lain dengan menjaga jarak pisik antarwarga. Sebab jika penularan semakin membludak, masyarakat juga yang menjadi korban.
Mungkin ada baiknya jika pemerintah mengurangi retribusi pasar – karena pembeli di pasar berkurang. Juga diskon pajak kenderaan, sehingga setoran sopir angkot bisa pula dikurangi oleh sang majikan.
Pengorbanan dan solidaritas sosial memang diperlukan. Mudah-mudahan masa sulit ini segera berlalu, dan kehidupan kembali normal.