Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Sang waktu datang mengirimkan balatentara musuh dari seberang laut. Oh, Tuhan! Sosoknya tak kasat mata. Tak seperti perang Vietnam dulu. Tentara Amerika mengejar Vietkong di hutan rimba, meski kadang mendadak balik diserang, seperti perang gerilya di masa revolusi.
Dia bergerak bersama angin. Menghinggapi manusia. Menular sesama manusia. Tak ada dentuman meriam dan desingan peluru. Tapi korban berjatuhan. Hari demi hari di berbagai belahan bumi.
Sang waktu kemudian bersajak.
Kegemerlapan kota yang kau junjung
Tak selalu menjadi sekutumu
Bisa saja luruh
Bagai hujan batu-batu
Menerpa dirimu
Aku berteriak, termangu tak sempat. Aku yang lain dibalut kecut. Berharap wabah itu pergi, dan jangan berjangkit kian kemari.
Emak, bulan di atas sana
Matahari di langit siang
Diam saja, oh emak e..
Anak yang berteriak itu lalu berlari. Tetapi wabah menyergapnya. Sejenak menggeliat, lalu limbung. Ibunya menatap perih. Hendak mendekat, gamang wabah menyusup. Eh, anaknya kini terbujur, kaku. Emaknya meratap sayu.
Emak: kota sepi
pesona kota memudar
Dendang memuja kota harus diubah
Anaknya yang lain menjerit: kota yang senyap jatuh ke pangkuanku, Emak. Mana bapak, Emak…mana, Bapak!
Emak: Ayahmu (dan sudaramu) mati diterkam burung siluman
Emak: Ayahmu (dan saudaramu) mati dikulum musuh yang tak kelihatan
Emak: Ayahmu (dan saudaramu) pergi tanpa upacara
Si anak terus mengigau-igau. Tetapi si emak dan Emak-Emak lain tak berdaya. Si Bapak tinggal nama. Si anak menyesal punya nama..
Bisu merajalela. Orang-orang di berbagai kota tepekur. Hanya sepasang burung terbang di angkasa. Tak tahu derita kota. Angin mendesau-desau. Lalu, sehelai demi sehelai daun luruh dari ranting terempas ke bumi. Dan bumi pasrah.
Tapi emak e, sayup-sayup kutatap di jauhan. Purnama demi purnama berlalu. Angin semilir berembus di sela dedaunan. Bunga-bunga kembang mewangi. Sang surya hangatkan bumi. Nafas kota berpacu laju. Ibu-ibu gairah berbelanja. Anak sekolah bernyanyi di kelas dan mahasiswa berdebat di kampus.
Pertanda apakah gerangan ketika pak polisi sibuk mengatur arus lalulintas. Penerbangan hilir mudik. Pegawai negeri melayani warga. Toko-toko ritel, mal, plasa, perbankan dan industri berdenyut. Penjual bakso ceria, pewarung jalanan tertawa.
Tuhanku, wahai Tuhanku, kulihat balatentara musuh lari terbirit-birit. Lintang pukang. Menggumpal, lalu pecah tak bersisa. Kuusap mataku, kuusap. Seakan tak percaya, “mimpi buruk” telah berlalu.