Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kita menyaksikan Covid-19 menyerbu perkotaan dan nyaris tidak menyentuh pedesaan. Angka mereka yang terinfesi virus corona di Jakarta misalnya menunjukkan 3.599 pasien positif corona dari 8.211 orang secara nasional, per Jumat (24/4/2020).
Saya belum membaca ada penelitian yang menjelaskan fenomena itu. Tapi boleh jadi karena mobilitas manusia di perkotaan sangat tinggi. Baik hubungan antarnegara, maupun pergerakan warga di kota demi kota.
Interaksi antarmanusia di kantor-kantor pemerintahan, di sekolah dan kampus, hubungan bisnis, pameran dagang, tansportasi darat, laut dan udara melibatkan banyak orang. Berbagai event seperti seminar, politik, olahraga, kesenian, termasuk arus wisatawan pun mustahil tanpa melibatkan banyak orang.
Dari hiruk-pikuk interaksi antarmanusia itulah, wabah corona menemukan media persebarannya. Tak heran jika beberapa negara memberlakukan lockdown. Beberapa kota di Indonesia memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang meminimalkan pergerakan orang.
Wajah dunia memang bias perkotaan. Kota-kota dibangun menjadi pusat segalanya. Pusat pemerintahan, bisnis, politik, pendidikan, industri, kebudayaan, termasuk hiburan. Pesona kota-kota inilah menggerakkan urbanisasi bagaikan semut mengerubuti gula.
Sebaliknya pedesaan rada diabaikan. Penduduknya semakin sunyi karena disedot perkotaan yang mejanjikan banyak harapan. Tak heran jika angka kemiskinan lebih tinggi di desa dibanding perkotaan.
Beda dengan gaya hidup di kota yang lebih individualis, orang desa lebih guyup. Interaksi antarmanusia lebih erat. Namun ketika bekerja orang desa sendiri-sendiri. Bertani di sawah atau kebun. Menyadap getah. Menjala ikan di sungai atau mengambil hasil hutan di tengah rimba yang nyaris nihil interaksi antarmanusia.
Saya tidak tahu apakah Covid-19 merupakan teguran terhadap peradaban perkotaan. Walaupun nyaris mustahil mengubah wajah dunia yang bias perkotaan berbalik menjadi ruralisasi. Orang kota ramai-ramai kembali ke pedesaan.
Lagi pula, apa yang dikejar orang di desa yang minim berbagai fasilitas, karir, pesona, impian dan harapan. Ironisnya, kini perkotaan yang dipuja-puji disengat wabah corona. Desa yang adem ayem, boleh dikata, nyaris tak tersentuh virus berbahaya itu.
Adakah gerangan ini nahas perkotaan. Marilah bertanya kepada rumput yang bergoyang.